Senin, 02 Desember 2013

Makalah Teori Sosiologi Klasik : Emile Durkheim 1



BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dia termasuk dalam tokoh Sosiologi yang memperbaiki metode berpikir Sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi Sosiologi akan menjadi suatu ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.
Ada dua tema penting dalam karya Emile Durkheim; Pertama, keutamaan sosial daripada individu; Kedua, ide bahwa masyarakat bisa dipelajari secara ilmiah. Kita hidup di tengah masyarakat yang cenderung melihat segala sesuatu disebabkan oleh individu, bahkan persoalan sosial sekalipun seperti rasisme, polusi, dan resesi ekonomi. Durkheim mendekati masalah ini dari perspektif yang berlawanan ,
Durkheim lebih menekankan dimensi sosial dari seluruh fenomena manusia. Durkheim melihat bahwa kekuatan-kekuatan sosial dapat bekerja dan mempunyai pengaruh terhadap individu yang bersifat membebaskan, Karena kekuatan-kekuatan ini lalu dapat diperhitungkan dan mungkin disesuaikan melalui tindakan manusia. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai fakta sosial, jenis - jenis fakta sosial, dan analisis sosiologis yang merupakan pemikiran sosiologis Emile Durkheim.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi singkat Emile Durkheim?
2. Apa pengertian dari Fakta Sosial?

3. Apa saja jenis – jenis Fakta Sosial?
4. Bagaimana implikasi Fakta Sosial dalam Sosiologi?



BAB II
PEMBAHASAN
1. BIOGRAFI EMILE DURKHEIM
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris. Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis. Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912. Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997). Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata : Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya.  Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345). Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan. Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi. Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott Parsons.
2.   APA YANG DIMAKSUD FAKTA SOSIAL
Adalah setiap cara bertindak yang umumnya terdapat dalam suatu masyarakat tertentu yang yang memiliki eksistensinya sendiri terlepas dari manifestasi individu. Keharusan dalam mengikuti adat istiadat, sopan santun, dan tata cara penghormatan yang lazim dilakukan sebagai seorang anggota masyarakat merupakan suatu hubungan antar individu dengan individu lain dalam suatu masyarakat. Berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan dengan anggota masyarakat lain yang dipedomani oleh norma-norma dan adat istiadat seseorang sehingga ia melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain tersebut dinamakan fakta social.
Fakta social yang dimaksud di atas merupakan salah atu konsep dari sosiologi; konsep dasar yang berhubungan dengan keberadaan individu di masyarakat. Memahami fakta social dapat membantu memberikan penjelasan mengenai latar belakang peranan agama dalam masyarakat yang menjadi acuan norma social bagi individu untuk melakukan berbagai tindakan.
Istilah fakta social pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli sosiologi sosiolog Perancis Émile Durkheim pada abad ke-19 dan banyak mempengaruhi analisa Durkheim (dan para pengikutnya) ketika melakukan penelitian terkait masyarakat, antara lain struktur sosial, norma kebudayaan, dan nilai sosial yang dimasukan dan dipaksakan kepada individu. Menurut Durkheim fakta sosial adalah seluruh cara bertindak,baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manivestasi individual. Tujuan Durkheim adalah agar sosiologi memiliki dasar positivisme yang kuat, sebagai ilmu di antara ilmu yang lain. Ia berpendapat bahwa setiap ilmu tertentu harus memiliki subyek pembahasan yang unik dan berbeda dengan ilmu lain, namun harus dapat diteliti secara empiris. Oleh karena itu, Durkheim menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi haruslah berupa studi atas fakta sosial.
Fakta social dijabarkan dalam beberapa gejala social yang abstrak, misalnya hokum, adat kebiasan, norma, bahasa, agama, dan tatanan kehidupan lainnya yang memiliki kekuasaan tertentu untuk memaksa bahwa kekuasaan itu terwujud dalam kehidupan masyarakat di luar kemampuan individu sehingga individu menjadi tidak Nampak. Yang dominan dalam hal ini adalah masyarakat.
Fakta social berangkat dari asumsi umum bahwa gejala social itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Lebih lagi, karena gejala social merupakan fakta riil, maka gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan metode empiris, yang memungkinkan satu ilmu tentang masyarakat dapat dikembangkan.
Sebagai suatu gejala social, fakta social berbeda dengan gejala individual. Sebagai gejala social, ia mempunyai tiga karakteristik utama, pertama, gejala sosial bersifat eksternal. Artinya, fakta social merupakan cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu dan tidak bisa didefinisikan atau diciptakan oleh individu.
Kedua, fakta sosial memaksa individu. Seorang individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dipengaruhi oleh pelbagai fakta social dalam lingkungan masyarakat. Artinya, fakta social mempunyai kekuatan untuk memaksa individu untuk melepaskan kemauannya sendiri sehingga eksistensi kemauannya terlingkupi oleh semua fakta social. Seperti yang Durkheim katakan : “Tipe – tipe perilaku atau berfikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu titu sendiri”. Ini tidak berarti bahwa individu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya.
ketiga, fakta bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan, dan juga bukan sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar – benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini.
Ide Durkheim tenteng fakta sosial menjadikan sosiologi sebagai ranah yang lepas dari studi filsafat ataupun psikologi dan menjadi argumen yang paling meyakinkan untuk mempelajari masyarakat sebagaimana adanya sebelum memutuskan apakah sesungguhnya masyarakat itu.
3. JENIS – JENIS FAKTA SOSIAL
   Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
  1. Dalam bentuk material, artinya mudah dipahami karena dapat diamati, disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma hukum.
  2. Dalam bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter subjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme, altruisme dan opini. Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertenti, ialah individu. Akan tetapi Durkheim yakin bahwa ketika seseoramg mulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Menurut Durkheim, hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia dan ia juga mengatakan bahwa masyarakat bukan hanya semata-mata kumpulan individu saja walaupun faktanya masyarakat memang terdiri dari individu-individu, namun dia hanya bisa dipahami dengan mempelajari interaksi dan bukannya dengan mempelajari individu.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial
Karena fakta sosial nonmaterial sangat penting bagi Durkheim, maka kita mengetenggahkan pembahasan singkat empat jenis fakta non-material di bawah ini:
a. Moralitas
Perspektif  Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu dan bersifat memaksa individu. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada kesehatan  moral masyarakat modern.
Bahkan salah seorang teman Durkheim telah menulis bahwa tidak akan bisa memahami karya Durkheim jika belum memahami fakta moralitas karena moralitas  adalah inti dan objek dari karya-karya Durkheim. Hal ini bukan berarti Durkheim menganggap masyarakat menjadi, atau tengah terancam bahaya tidak bermoral. Bagi Durkheim moralitas hanya bisa diidentifikasi dengan masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat tidak mungkin tidak bermoral, namun pasti bisa kehilangan kekuatan moral jika kepentingan kolektif masyarakat hanya terdiri dari kepentingan-kepentingan individu belaka. selama moralitas adalh fakta sosial, maka dia akan mengalahkan kepentingan diri mereka
b. Kesadaran Kolektif
kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut keseluruhan kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama , lebih dari masyarakat modern.
c.       Representasi Kolektif
Karena kesadaran kolektif merupakan merupakan sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap, oleh karena itu tidak mungkin dipelajari secara langsung akan tetapi mesti didekati melalui relasi fakta sosial material. Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif.
Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
d.  Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan yang terbentuk dalam kumpulan publik. Arus sosial kurang konkret dibanding fakta sosial karena fakta sosial tidak bisa direduksi pada individu. Kita diseret oleh arus sosial, dan ia memiliki kekuatan untuk memaks kita meski kita baru bisa menyadarinya ketika kita bergulat melawan perasaan ini. Arus sosial bisa dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh seluruh angota kelompok. Karena itu, arus sosial tersebut tidak bisa dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual tertentu.
e. Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa

4. FAKTA SOSIAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ANALISIS SOSIOLOGI
Fakta sosial bersifat eksternal, umum(general), dan memaksa (coercion).Fakta sosial mempengaruhi tindakan-tindakan manusia.Tindakan individu merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial, serta bagaimana orang mendefinisikan situasi. Asumsi yang mendasari adalah bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif dalam membangun dunia sosialnya sendiri. Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide.
Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam:
 Dalam bentuk material : yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata, contohnya arsitektur dan norma hukum.
 Dalam bentuk non-material : yaitu sesuatu yang ditangkap nyata (eksternal). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contoh egoisme, altruisme, dan opini.
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interview maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.



0 komentar:

Posting Komentar