BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia
tengah berada di dalam era Reformasi dan era globalisasi. Memasuki milenium ketiga ini kita disibukan dengan dengan istilah
globalsasi yang menjadi arus tidak dapat di bendung. Shimon Peres menyatakan
kekuatan globalisasi sebagai pengalaman orang yang bangun pagi dan melihat
segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap suatu kebenaran suatu
waktu menghilang tanpa bekas. Para pakar mengakuinya bahwa sekarang perubahan
kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Masyarakat atau bangsa yang kurang
siap akan terbawa oleh arus global.
Senada pula yang
diutarakan oleh Giddens bahwa globalisasi barangkali bukanlah perkataan yang
sangat menarik atau elegan. Namun demikian, tidak seorangpun memahami prospek
kehidupan kita diakhir abad ini tidak dapat mengabaikannya. Globalisasi
berkaitan dengan tesis bahwa kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan
mudah kita dapat melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap Negara
membicarakan globalisasi dengan cukup Intenship seperti kata globalisasi
dikenal oleh warga Prancis dengan Mondialisation, sedangkan di Spayol
dan Amerika Latin kata ini adalah Globalizacion dan untuk Jerman
meyebutnya dengan Globalisierung. Manusia hidup dalam reliatas yang
plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural
society)
Corak masyarakat
Indonesia adalah ber-Bhenika Tunggal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa
dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam
masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dilihat
memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat tersebut
yang coraknya sebagai mosaik. Seperti yang telah dikemukan oleh The Fanding
Father bangsa Indonesia bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah
puncak-puncak kebudayaan daerah.
Samuel P. Huntuington (1993) yang
“meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi
disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru
dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik
tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi
dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur
politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh
peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik
di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito:
Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi
sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menganalisis
bagaimana masadepan multikultural Indonesia.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud multikulturalisme?
2. Apakah
hubungan antara multikulturalisme dan globalisasi?
3.
Apakah pengaruh multikultural untuk
masa depan Indonesia?
4.
Pendidikan multikultural seperti apa
yang sesuai dengan Indonesia?
Tujuan
1. MengetahuiapaituMultikulturalisme.
2. Mengetahuihubungan antara multikulturalismedanglobalisasi.
3. Mengetahui
seberapa besar pengaruh multikultural untuk masa depan Indonesia.
4. Mengetahui
pendidikan multikulturalisme yang sesuai untuk Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan
berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat
menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka
anut.
Pengertian Multikulturalisme
menurut beberapa ahli
- “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
- Masyarakat Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
- Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
- Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
- Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Dengan pengunaan
istilah dan praktek dari multikulturalisme Parehk membedakan lima jenis
multikulturalisme.
a) “Multikulturalisme Asosianis” yang mengacu pada masyarakat dimana
kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom dan menjalankan
interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat pada sistem “Millet”, mereka
menerima keragaman tetapi mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara
terpisah dari masyarakat lainnya.
b) “Multikultualisme Akomodatif”,yakni masyarakat plural yang memiliki
kultura dominan, yang membuat penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi
kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan
menarapkan undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif secara kultural,
memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya
dan minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Multikultural ini dapat
ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain.
c) “Multikultural Otomatis” masyarakat yang plural dimana
kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan
kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan dapat diterima.
Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang berada di Eropa
yang menginginkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang setara dan
pendidikan anaknya sesuai dengan kebudayaannya.
d) “Multikulturalisme Kritikal Interaktif” masyarakat yang plural dimana
kelompok kultur tidak terlalu konsen dalam kehidupan kultur otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perfektif distingtif mereka.
Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit
hitam dalam menuntut kemerdekaan.
e) “Multikultural Kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan kultur
sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana individu tidak lagi
terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan
eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kultur masing-masing.
Para pendukung multikultural ini adalah para intelektual diasporik dan kelompok
liberal yang memiliki kecenderungan posmodernism dan memandang kebudayaan
sebagai resauorces yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi
Azra,Identitas dan Krisis Budaya).
A.
Pengaruh Globalisasi Terhadap Multikulturalisme
Bahasa globalisasi
patut mendapatkan perhatian khusus. Kata globalisasi itu sendiri, dalam
kebanyakan penggunaannya tidak mengandung satu konsep tertentu. Terdapat dua
macam perkembangan modalis dipadukan dengan istilah globalisasi. Pertama,
perkembangan teknologi dan kedua, perkembangan dalam pemusatan kekuasaan.
(Peter Marcus, Memahami Bahasa Globalisasi).
Globalisasi ini
berarti terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh
dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, dan informasi hasil moderniasasi
teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang
saling dipengaruhi dan mempengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakan
nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang atau
kerjasama yang menghasilkan sintesa dan analisis baru. (Qodri Azizy,Melawan
Globalisasi).
Era globalisasi telah membawa bangsa
Indonesia kepada paham pluralis dan materialisti, yang semuanya mengadopsi
sistem Barat tanpa ada filterasi akan kepentingan yang ada. Sehingga muncul
dalam kehidupan di negeri ini paham Barat adalah sebuah kemajuan dan
kemoderenan. Padahal jelas bahwa bangsa Indonesia secara kultur dan budaya
tidak sama dengan bangsa Barat. Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan
yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial.
Multikultural semakin berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi
oleh umat manusia khususnya dalam era global.
Pengaruh Multikultural
untuk masa depan Indonesia.
Terlepas dari perbedaan pendapat
diatas mengenai “Multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah
justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah
munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri.
Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan
yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara.
Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk,
seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan
lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan
suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah
benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi
faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan
Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah
banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan
adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang
akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di
Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena
perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator
yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah
Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus
berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas
simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung
Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para Founding
Father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini
dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang
luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit,
semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita.
Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang
kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan
semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada
masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu melawan ketidakadilan
para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda
pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan
ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam
menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya
wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi
pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam
sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai
pluralisme, perbedaan (Multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun
politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat
dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang
diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani
terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya
mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural,
multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka.
Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang
pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka
dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya.
Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara
pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi
sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan
menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Akhir-akhir ini, intensitas dan
ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat.
Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang
di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya
konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat
merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas
konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang
berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi
berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan
pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif
bahkan cenderung anarkis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai
kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik
sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi
secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional.
Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial
tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat
insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merupakan
budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga
menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum
terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan
doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan
di pihak lain.
Kemajemukan
masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horizontal (perbedaan etnik,
agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu
terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau
pekerjaan yang diraihnya.Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik,
apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti
terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya.
Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif
dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam
masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu
kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah
kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan
komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan
tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi
kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka
yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati.Kompetensi
kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat
berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses
pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati
dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan
sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh”
atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses
pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan
bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana
dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan
menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a) Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi
politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan
yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
b) Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi
tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi
dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa
menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c) Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang
disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi
mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif
tetap terjaga
Dapat dikatakan bahwa secara
konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan
bangsa yang religius, humanis, bersatu dalamkebhinnekaan. Demokratis dan
berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya ialah keharusan
melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif;
memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang
demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat
kerakyatan. Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu
tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari
kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan
realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh,
beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan
menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi
kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan
perpecahan bangsa dapat dihindari.
Pendidikan multikultural yang sesuai untuk Indonesia.
Ketentuan di
dalam UU menyatakan bahwa rakyat dan bangsa Indonesia mencakupi berbagai
kelompok etnis. Mereka telah berbagi komitmen dalam membangun bangsa Indonesia.
Di dalampendidikan multikultural
terletak tanggung jawab besar untuk pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang
difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah
tidak mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan
dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi melalui
pendidikan nasional.
Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan
multikultural di Indonesia, yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara
aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai
suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan
masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau
fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama
terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Masing-masing
individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan
di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada
pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural
untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang
penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang
plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari
kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul
ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.
3. Toleransi
Toleransi
merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi
dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan
adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu
mempertahankan keyakinannya.
Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang
demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan
multikultural.Pendekatan dalam pendidikan multikultural meliputi:
- Pengajaran yang diberikan kepada mereka yang berbeda
secara kultural dilakukan dengan penitikberatan agar di kalangan mereka terjadi
perubahan kultural.
- Memperhatikan pentingnya hubungan manusia dengan
mengarahkan atau mendorong siswa memiliki perasaan positif, mengembangkan
konsep diri, mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain.
- Menciptakan arena belajar dalam satu kelompok budaya.
- Pendidikan multikultural dilakukan sebagai upaya
mendorong persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan pemerataan
kekuasaan antar kelompok.
- Pendidikan multikultural sekaligus sebagai upaya
rekontruksi sosial agar terjadi persamaan struktur sosial dan pluralisme
kultural dengan tujuan menyiapkan agar setiap warga negara aktif mengusahakan
persamaan struktur sosial.
Meskipun warga Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan
kebudayaan, aktivitas dan proses pendidikan haruslah dimuarakan pada karakter nasionalis
pada peserta didiknya. Perlu diyakinkan kepada seluruh peserta didik bahwa
keberadaan kita hari ini selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita
berbeda agama, ras, suku, dan budaya, kita memiliki satu persamaan. Kita
sama-sama di lahirkan di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan dibesarkan di
Indonesia. Kita bekerja mencari rezeki di Indonesia. Kelak kita mati juga di
Indonesia. Wajar agama mengajarkan
kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. Pertanyaan yang
perlu dipertanyakan kepada warga belajar adalah: apa yang dapat kita berikan
kepada Indonesia?
Dalam konteks ini diperlukan pemecahan masalah
melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik tentang
cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogenitas kelompok
etnis, relasi gender, hubungan antaragama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan
subkultural, serta bentuk-bentuk keragaman lainnya. Dalam mengembangkan pendidikan multikultural
tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai
tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat; pengakuan terhadap harkat
dan martabat manusia dan hak asasi manusia; pengembangan tanggung jawab
masyarakat dunia; dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Nilai-nilai
tersebut dapat diadopsi dalam prinsip dasar
pengembangan model pembelajaran berbasis pendidikan multikultural keindonesiaan.
Pertama, PendidikanMultikultural
sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan
multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap jati diri sendiri.
Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan bagian dari warga bangsa merupakan
hal penting. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi pijakan.
Kedua,
Pendidikan
Multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajar tidak mengembangkan sikap
etnosentris kesukuan dan sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup
kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang nonetnosentris, kebencian
dan konflik antaretnis dapat dihindarkan
karena perasaan satu bangsa. Pendidikan
multikultural bertujuan membangun
kesadaran yang tidak bersifat egosentris yang mengunggulkan diri dan
kelompoknya dan merendahkan kelompok
lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda kelompok sosial merupakan
hal penting untuk ditumbuhkembangkan
sebagai jembatan jiwa nasionalisme.
Ketiga,
Pendidikan
Multikultural dikembangkan secara
integratif. Kurikulum pendidikan multikultural menjangkau seluruh isi
pendidikan. Kurikulum pendidikan multikultural harus terintegrasi ke dalam
semua mata pelajaran, seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains,
pendidikan jasmani, kesenian, dan mata pelajaran lainnya.
Keempat,
Pendidikan Multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan dalam bentuk
perubahan sikap melalui pembiasaan. Praktik pembelajaran didesain dalam suasana
masyarakat belajar yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama
mencintai bangsa dan negara. Untuk mencapai suasana demikian, pembelajaran harus berorientasi pada proses,
misalnya bermain peran, simulasi, diskusi, pembelajaran kooperatif, dan
pembelajaran partisipatoris.
Kelima,
Pendidikan
Multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari agama, etnis, dan suku yang ada. Kontekstualisasi pendidikan
multikultural harus bersifat lokal, nasional, dan global. Kebanggaan memiliki
nilai kearifan lokal harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus menjadi tujuan bersama pendidikan nasional.
Kesadaran sebagai warga global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian
antarbangsa perlu dikembangkan. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna
penting untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keberagaman
dalam lingkup kelompok sosial masyarakat, negara, dan dunia.
KESIMPULAN
Terlepas dari perbedaan pendapat
diatas mengenai “Multikulturalisme” apakahmenjadi faktor perpecahan ataukah
justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah
munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri.
Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan
yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara.
Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk,
seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan
lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu
dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan
suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah
benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukahjustru berbalik menjadi
faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan
Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah
banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan
adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Munib, Achmad. 2009. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press
2. Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
3.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan
Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia
Tera.
0 komentar:
Posting Komentar