Senin, 16 Desember 2013

Masyarakat Multikultural : Globalisasi dan Multikulturlisme 2



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Indonesia tengah berada di dalam era Reformasi dan era globalisasi. Memasuki milenium ketiga ini kita disibukan dengan dengan istilah globalsasi yang menjadi arus tidak dapat di bendung. Shimon Peres menyatakan kekuatan globalisasi sebagai pengalaman orang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap suatu kebenaran suatu waktu menghilang tanpa bekas. Para pakar mengakuinya bahwa sekarang perubahan kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap akan terbawa oleh arus global.
Senada pula yang diutarakan oleh Giddens bahwa globalisasi barangkali bukanlah perkataan yang sangat menarik atau elegan. Namun demikian, tidak seorangpun memahami prospek kehidupan kita diakhir abad ini tidak dapat mengabaikannya. Globalisasi berkaitan dengan tesis bahwa kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan mudah kita dapat melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap Negara membicarakan globalisasi dengan cukup Intenship seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan Mondialisation, sedangkan di Spayol dan Amerika Latin kata ini adalah Globalizacion dan untuk Jerman meyebutnya dengan Globalisierung. Manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society)
Corak masyarakat Indonesia adalah ber-Bhenika Tunggal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya sebagai mosaik. Seperti yang telah dikemukan oleh The Fanding Father bangsa Indonesia bahwa kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.

Samuel P. Huntuington (1993) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia kedalam komunisme dan kapitalisme. Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang disatu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menganalisis bagaimana masadepan multikultural Indonesia.

Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud multikulturalisme?
2.      Apakah hubungan antara multikulturalisme dan globalisasi?
3.      Apakah pengaruh multikultural untuk masa depan Indonesia?
4.      Pendidikan multikultural seperti apa yang sesuai dengan Indonesia?

Tujuan
1.      MengetahuiapaituMultikulturalisme.
2.      Mengetahuihubungan antara multikulturalismedanglobalisasi.
3.      Mengetahui seberapa besar pengaruh multikultural untuk masa depan Indonesia.
4.      Mengetahui pendidikan multikulturalisme yang sesuai untuk Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Pengertian Multikulturalisme menurut beberapa ahli
  1. “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
  2. Masyarakat Multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
  3. Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
  4. Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
  5. Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
Dengan pengunaan istilah dan praktek dari multikulturalisme Parehk membedakan lima jenis multikulturalisme.
a)      Multikulturalisme Asosianis” yang mengacu pada masyarakat dimana kelompok berbagai kultur menjalankan hidup secara otonom dan menjalankan interaksi minimal satu sama lain. Contohnya adalah masyarakat pada sistem “Millet”, mereka menerima keragaman tetapi mereka mempertahankan kebudayaan mereka secara terpisah dari masyarakat lainnya.
b)      Multikultualisme Akomodatif”,yakni masyarakat plural yang memiliki kultura dominan, yang membuat penyesuaian, mengakomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menarapkan undang-undang, hukum dan kekuatan sensitif secara kultural, memberikan kesempatan kepada kaum minoritas untuk mengembangkan kebudayaannya dan minoritas tidak menentang kultur yang dominan. Multikultural ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis dan beberapa negara Eropa yang lain.
c)      Multikultural Otomatis” masyarakat yang plural dimana kelompok kultura yang utama berusaha mewujudkan kesetaraan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik secara kolektif dan dapat diterima. Contoh dari multikultural ini adalah masyarakat muslim yang berada di Eropa yang menginginkan anaknya untuk memperoleh pendidikan yang setara dan pendidikan anaknya sesuai dengan kebudayaannya.
d)     Multikulturalisme Kritikal Interaktif” masyarakat yang plural dimana kelompok kultur tidak terlalu konsen dalam kehidupan kultur otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perfektif distingtif mereka. Multikultural ini, berlaku di Amerika Serikat dan Inggris perjuangan kulit hitam dalam menuntut kemerdekaan.
e)      Multikultural Kosmopolitan”, yang berusaha menghapuskan kultur sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu. Ia secara bebas terlibat dengan eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kultur masing-masing. Para pendukung multikultural ini adalah para intelektual diasporik dan kelompok liberal yang memiliki kecenderungan posmodernism dan memandang kebudayaan sebagai resauorces yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. (Azyumardi Azra,Identitas dan Krisis Budaya).

A.    Pengaruh Globalisasi Terhadap Multikulturalisme
Bahasa globalisasi patut mendapatkan perhatian khusus. Kata globalisasi itu sendiri, dalam kebanyakan penggunaannya tidak mengandung satu konsep tertentu. Terdapat dua macam perkembangan modalis dipadukan dengan istilah globalisasi. Pertama, perkembangan teknologi dan kedua, perkembangan dalam pemusatan kekuasaan. (Peter Marcus, Memahami Bahasa Globalisasi).
Globalisasi ini berarti terjadi pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama di seluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, dan informasi hasil moderniasasi teknologi. Pertemuan dan gesekan ini akan menghasilkan kompetisi liar yang saling dipengaruhi dan mempengaruhi, saling bertentangan dan bertabrakan nilai-nilai yang berbeda yang akan menghasilkan kalah atau menang atau kerjasama yang menghasilkan sintesa dan analisis baru. (Qodri Azizy,Melawan Globalisasi).
Era globalisasi telah membawa bangsa Indonesia kepada paham pluralis dan materialisti, yang semuanya mengadopsi sistem Barat tanpa ada filterasi akan kepentingan yang ada. Sehingga muncul dalam kehidupan di negeri ini paham Barat adalah sebuah kemajuan dan kemoderenan. Padahal jelas bahwa bangsa Indonesia secara kultur dan budaya tidak sama dengan bangsa Barat. Multikulturalisme merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial. Multikultural semakin berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia khususnya dalam era global.

Pengaruh Multikultural untuk masa depan Indonesia.
Terlepas dari perbedaan pendapat diatas mengenai “Multikulturalisme” apakah menjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukah justru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.
Paham Sukuisme sempit inilah yang akan membawa kepada perpecahan. Seperti konflik di Timur-Timur, di Aceh, di Ambon, dan yang lainya. Entah konflik itu muncul semata-mata karena perselisihan diantara masyarakat sendiri atau ada “sang dalang” dan provokator yang sengaja menjadi penyulut konflik. Mereka yang tidak menginginkan sebuah Indonesia yang utuh dan kokoh dengan keanekaragamannya. Untuk itu kita harus berusaha keras agar kebhinekaan yang kita banggakan ini tak sampai meretas simpul-simpul persatuan yang telah diikat dengan paham kebangsaan oleh Bung Karno dan para pejuang kita.
Hal ini disadari betul oleh para Founding Father kita, sehingga mereka merumuskan konsep multikulturalisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Sebuah konsep yang mengandung makna yang luar biasa. Baik makna secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, semboyan ini mampu mengangkat dan menunjukkan akan keanekaragaman bangsa kita. Bangsa yang multikultural dan beragam, akan tetapi bersatu dalam kesatuan yang kokoh. Selain itu, secara implisit “Bhineka Tunggal Ika” juga mampu memberikan semacam dorongan moral dan spiritual kepada bangsa indonesia, khusunya pada masa-masa pasca kemerdekaan untuk senantiasa bersatu  melawan ketidakadilan para penjajah. Walaupun berasal dari suku, agama dan bahasa yang berbeda.
Kemudian munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan perbedaan ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Yang kemudian dikenal sebagi cikal bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini juga tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, sebagaimana dapat dilihat, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Betapa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme, perbedaan (Multikulturalisme). Baik dalam konteks sosial maupun politik. Bahkan pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta, pun dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.
Kemudian sebuah ideologi yang diharapkan mampu menjadi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia. Yaitu Pancasila, yang seharusnya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama ini. Termasuk dalam hal ini Pancasila haruslah terbuka. Harus memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik.
Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.
Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat, meskipun tidak menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara.
Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiyah. Karena masyarakat tidak selamanya bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis.
Perkembangan terakhir menunjukkan pada kita, sejumlah konflik sosial dalam masyarakat telah berubah menjadi destruktif bahkan cenderung anarkis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak dianggap remeh dan harus segera diatasi secara memadai dan proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi nasional. Banyak hal yang patut direnungkan dan dicermati dengan fenomena konflik sosial tersebut. Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru merupakan budaya dalam masyarakat yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan. Menyangkut penghayatan kita terhadap agama sebagai kumpulan doktrin di satu pihak dan sikap keagamaan yang mewujud dalam prilaku kebudayaan di pihak lain.
Kemajemukan masyarakat lokal seperti itu bukan saja bersifat horizontal (perbedaan etnik, agama dan sebagainya), tetapi juga sering berkecenderungan vertikal, yaitu terpolarisasinya status dan kelas sosial berdasar kekayaan dan jabatan atau pekerjaan yang diraihnya.Hal ini dapat menimbulkan gesekan primordialistik, apalagi bila ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi tertentu seperti terjadi di Ambon, Poso, Aceh dan lainnya.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Kompetensi kebudayaan adalah kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu.   Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan syah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati.Kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Semangat kebersamaan dalam perbedaan sebagaimana terpatri dalam wacana ”Bhineka Tunggal Ika” perlu menjadi “roh” atau spirit penggerak setiap tindakan komunikatif, khususnya dalam proses pengambilan ekputusan politik, keputusan yang menyangkut persoalan kehidupan bersama sebagai bangsa dan negara.
Jika tindakan komunikatif terlaksana dalam sebuah komunitas masyarakat multikultural, hubungan diagonal ini akan menghasilkan beberapa hal penting, misalnya:
a)   Reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalamkonsepsi politik yang baru, tetap ada kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsesus praktis dalam praktek kehidupan sehari-hari.
b)   Integrasi sosial yang menjamin bahwa koordinasi tindakan politis tetap terpelihara melalui sarana-sarana hubungan antar pribadi dan antar komponen politik yang diatur secara resmi (legitemed) tanpa menghilangkan identitas masing-masing unsur kebudayaan.
c)   Sosialisasi yang menjamin bahwa konsepsi polotik yang disepakati harus mampu memberi ruang tindak bagi generasi mendatang dan penyelarasan konteks kehidupan individu dan kehidupan kolektif tetap terjaga
            Dapat dikatakan bahwa secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalamkebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekuensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan. Dengan demikian kita melihat bahwa semboyan ‘Satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa dan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ masih jauh dari kenyataan sejarah. Ia masih merupakan mitos yang perlu didekatkan dengan realitas sejarah. Bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kokoh, beranekaragam budaya, etnik, suku, ras dan agama, yang kesemuanya itu akan menjadikan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang mampu mengakomodasi kemajemukkan itu menjadi suatu yang tangguh. Sehingga ancaman disintegrasi dan perpecahan bangsa dapat dihindari.


Pendidikan multikultural yang sesuai untuk Indonesia.
Ketentuan di dalam UU menyatakan bahwa rakyat dan bangsa Indonesia mencakupi berbagai kelompok etnis. Mereka telah berbagi komitmen dalam membangun bangsa Indonesia.
Di dalampendidikan multikultural terletak tanggung jawab besar untuk pendidikan nasional. Tanpa pendidikan yang difokuskan pada pengembangan perspektif multikultural dalam kehidupan adalah tidak mungkin untuk menciptakan keberadaan aneka ragam budaya di masa depan dalam masyarakat Indonesia. Multikultural hanya dapat disikapi melalui pendidikan nasional.
Ada tiga tantangan besar dalam melaksanakan pendidikan multikultural di Indonesia, yaitu:
1. Agama, suku bangsa dan tradisi
Agama secara aktual merupakan ikatan yang terpenting dalam kehidupan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Bagaimanapun juga hal itu akan menjadi perusak kekuatan masyarakat yang harmonis ketika hal itu digunakan sebagai senjata politik atau fasilitas individu-individu atau kelompok ekonomi. Di dalam kasus ini, agama terkait pada etnis atau tradisi kehidupan dari sebuah masyarakat.
Masing-masing individu telah menggunakan prinsip agama untuk menuntun dirinya dalam kehidupan di masyarakat, tetapi tidak berbagi pengertian dari keyakinan agamanya pada pihak lain. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pendidikan multikultural untuk mencapai tujuan dan prinsip seseorang dalam menghargai agama.
2. Kepercayaan
Unsur yang penting dalam kehidupan bersama adalah kepercayaan. Dalam masyarakat yang plural selalu memikirkan resiko terhadap berbagai perbedaan. Munculnya resiko dari kecurigaan/ketakutan atau ketidakpercayaan terhadap yang lain dapat juga timbul ketika tidak ada komunikasi di dalam masyarakat/plural.
3. Toleransi
Toleransi merupakan bentuk tertinggi, bahwa kita dapat mencapai keyakinan. Toleransi dapat menjadi kenyataan ketika kita mengasumsikan adanya perbedaan. Keyakinan adalah sesuatu yang dapat diubah. Sehingga dalam toleransi, tidak harus selalu mempertahankan keyakinannya.
Untuk mencapai tujuan sebagai manusia Indonesia yang demokratis dan dapat hidup di Indonesia diperlukan pendidikan multikultural.Pendekatan dalam pendidikan multikultural meliputi:
-   Pengajaran yang diberikan kepada mereka yang berbeda secara kultural dilakukan dengan penitikberatan agar di kalangan mereka terjadi perubahan kultural.
-   Memperhatikan pentingnya hubungan manusia dengan mengarahkan atau mendorong siswa memiliki perasaan positif, mengembangkan konsep diri, mengembangkan toleransi dan mau menerima orang lain.
-   Menciptakan arena belajar dalam satu kelompok budaya.
-   Pendidikan multikultural dilakukan sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok.
-   Pendidikan multikultural sekaligus sebagai upaya rekontruksi sosial agar terjadi persamaan struktur sosial dan pluralisme kultural dengan tujuan menyiapkan agar setiap warga negara aktif mengusahakan persamaan struktur sosial.
Meskipun warga Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan kebudayaan, aktivitas dan proses pendidikan haruslah dimuarakan pada karakter nasionalis pada peserta didiknya. Perlu diyakinkan kepada seluruh peserta didik bahwa keberadaan kita hari ini selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita berbeda agama, ras, suku, dan budaya, kita memiliki satu persamaan. Kita sama-sama di lahirkan di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan dibesarkan di Indonesia. Kita bekerja mencari rezeki di Indonesia. Kelak kita mati juga di Indonesia. Wajar  agama mengajarkan kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. Pertanyaan yang perlu dipertanyakan kepada warga belajar adalah: apa yang dapat kita berikan kepada Indonesia?
Dalam konteks ini diperlukan pemecahan masalah melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogenitas kelompok etnis, relasi gender, hubungan antaragama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta bentuk-bentuk keragaman lainnya.  Dalam mengembangkan pendidikan multikultural tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat;  pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia; pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia; dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi dalam prinsip dasar  pengembangan model pembelajaran berbasis pendidikan multikultural keindonesiaan. Pertama, PendidikanMultikultural sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap jati diri sendiri. Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan bagian dari warga bangsa merupakan hal penting. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi pijakan.
Kedua, Pendidikan Multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajar tidak mengembangkan sikap etnosentris kesukuan dan sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang nonetnosentris, kebencian dan konflik antaretnis  dapat dihindarkan karena perasaan satu bangsa. Pendidikan  multikultural bertujuan  membangun kesadaran yang tidak bersifat egosentris yang mengunggulkan diri dan kelompoknya dan merendahkan kelompok  lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda kelompok sosial merupakan hal  penting untuk ditumbuhkembangkan sebagai jembatan jiwa nasionalisme.
Ketiga, Pendidikan Multikultural  dikembangkan secara integratif. Kurikulum pendidikan multikultural menjangkau seluruh isi pendidikan. Kurikulum pendidikan multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains, pendidikan jasmani, kesenian, dan mata pelajaran lainnya.
Keempat, Pendidikan Multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan dalam bentuk perubahan sikap melalui pembiasaan. Praktik pembelajaran didesain dalam suasana masyarakat belajar yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama mencintai bangsa dan negara. Untuk mencapai suasana demikian,  pembelajaran harus berorientasi pada proses, misalnya bermain peran, simulasi, diskusi, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran partisipatoris.
Kelima, Pendidikan Multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari agama,  etnis, dan suku  yang ada. Kontekstualisasi pendidikan multikultural harus bersifat lokal, nasional, dan global. Kebanggaan memiliki nilai kearifan lokal harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus  menjadi tujuan bersama pendidikan nasional. Kesadaran sebagai warga global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian antarbangsa perlu dikembangkan. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna penting untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keberagaman dalam lingkup kelompok sosial masyarakat, negara, dan dunia.








KESIMPULAN

Terlepas dari perbedaan pendapat diatas mengenai “Multikulturalisme” apakahmenjadi faktor perpecahan ataukah justru menjadi pemersatu suatu bangsa. Maka hal yang harus kita waspadai adalah munculnya perpecahan etnis, budaya dan suku di dalam tubuh bangsa kita sendiri. Bangsa Indonesia yang kita ketahui bersama memiliki bermacam-macam kebudayaan yang dibawa oleh banyak suku, adat-istiadat yang tersebar di seluruh Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke kita telah banyak mengenal suku-suku yang majemuk, seperti; Suku Jawa, Suku Madura, Suku Batak, Suku Dayak, Suku Asmat dan lainnya. Yang kesemuanya itu mempunyai keunggulan dan tradisi yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Begitu kayanya bangsa kita dengan suku, adat-istiadat, budaya, bahasa, dan khasanah yang lain ini, apakah benar-benar menjadi sebuah kekuatan bangsa ataukahjustru berbalik menjadi faktor pemicu timbulnya disintegrasi bangsa. Seperti apa yang telah diramalkan Huntington, keanekaragaman di Indonesia ini harus kita waspadai. Karena telah banyak kejadian-kejadian yang menyulut kepada perpecahan, yang disebabkan adanya paham sempit tentang keunggulan sebuah suku tertentu.










DAFTAR PUSTAKA
1.      Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press
2.      Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep  dan Aplikasi. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
3.      Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia Tera.

0 komentar:

Posting Komentar