Senin, 02 Desember 2013

Makalah Teori Sosiologi Klasik : Emile Durkheim 2



BAB I
Pendahuluan
A.   Latar Belakang
Durkheim dianggap sebagai “bapak” sosiologi modern, karena usaha-usahanya menjadikan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang baru. Ia percaya bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Ia menolak pendekatan individual dalam memahami fenomena dalam masyarakat dan lebih memilih pendekatan secara sosial. Oleh karena itu ia juga berusaha memperbaiki metoda berpikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pada pemikiran-pemikiran logika filosofi tetapi sosiologi.  Menurut Durkheim, masyarakat dibentuk oleh “fakta sosial” yang melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti melalui observasi dan pengukuran. Ide tersebut adalah inti dari sosiologi yang menyebabkan Durkheim sering Dianggap sebagai “bapak” sosiologi (Gouldner, 1958). Meskipun istilah “sosiologi” telah dilahirkan Auguste Comte beberapa tahun sebelumnya, namun belum ada
lapangan sosiologi yang berdiri sendiri dalam universitas pada akhir abad ke-19. Belum ada sekolah, departemen, apalagi professor dalam bidang sosiologi. Tantangan yang signifikan dari sosiologi adalah filsafat dan psikologi, dua ranah ilmu ini mengklaim melingkupi ranah yang ingin diduduki sosiologi. Cita-cita Durkheim terhadap sosiologi sekaligus menjadi dilemanya adalah menjadikan sosiologi menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan merupakan ranah yang bisa diidentifikasi.
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat, Durkheim berpendapat bahwa sosiologi mesti berorientasi kepada penelitian empiris. Ia merasa terancam oleh aliran filsafat yang terdapat dalam sosiologi itu sendiri. Dalam pandanganya, tokoh utama lainya  seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer, keduanya lebih memiliki perhatian pada filsafat, dalam teori abstrak, kemudian mereka mempelajari dunia sosial secara empiris. Jika ranah ini diteruskan berdasarkan arah yang disusun oleh Comte dan Spencer, Durkheim khawatir, ranah ilmu ini tidak akan lebih dari sekadar sebuah cabang filsafat. Artinya, Durkheim merasa perlu mengkritik Comte dan Spencer karena mereka terlalu berpegang pad aide yang ada tentang fenomena sosial, dan bukanya pada studi atas dunia riil secara aktual. Ia menganggap Comte masih keliru karena telah mengandaikan secara teoritis bahwa dunia sosial selalu bergerak menuju kondisi masyarakat yang kian lama kian sempurna bukannya melakukan kerja ilmiah yang sungguh-sungguh, ketat, dan mendasar dalam mengkaji perubahan hakikat berbagai masyarakat. Spencer pun juga begitu, dia dianggap mengandaikan begitu saja adanya harmoni dalam masyarkat, dan bukanya mengkaji apakah harmoni itu benar-benar ada atau tidak.

B.   Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi Emile Durkheim dan perjalanan hidupnya yang mempengaruhi teori-teorinya?
2.    Apa saja teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim?

3.    Bagaimana kritik-kritik terhadap teori-teori emile Durkheim?

C.   Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui biografi dan latarbelakang Emile Durkheim yang mempengaruhi teori-teorinya
2.    Mengetahui dan memahammi teori-teori yang dikemukaan oleh Emile Durkheim
3.    Mengetahui kritik dan kelemahan teori Emile Durkheim
BAB II
Pembahasan
A.   Biografi Emile Durkheim
     Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, Prancis. Ia berasal dari keluarga rabbi atau pendeta bagi kaum Yahudi. Tetapi pada umur belasan tahun, Ia menyangkal silsilah keturunanya (Strenski, 1997: 4). Sejak saat itu, minat terhadap agama lebih akademis daripada teologis (Mestrovic, 1988). Ia tidak hanya kecewa dengan ajaran agama, namun juga pada pendidikan umum dan penekananya pada soal-soal literer dan estetis. Ia mendambakan bisa mempelajari metode-metode ilmiah dan prinsip-prinsip moral yang bisa memandu kehidupan sosial. Pada tahun 1887 Ia mengajar filsafat di beberapa sekolah provinsi di sekitar Paris.
Keinginanya dalam mempelajari ilmu pengetahuan semakin besar ketika Ia melakukan perjalanan ke Jerman. Disana Ia mengenal psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Di tahun-tahun setelah kunjunganya ke Jerman, Durkheim menrbitkan beberapa karya yang menuliskan pengalamanya di Jerman. Publikasi-publikasi ini membantu Ia memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeaux pada tahun 1887. Disana Durkheim memberikan kuliah dalam ilmu sosial di sebuah Universitas Prancirs untuk pertama kalinya. Hal ini merupakan prestasi terbesar, karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan menggemparkan merebak di sebuah Universiras Prancis setelah seorang mahasiswa menyebut Auguste Comte dalam disertasinya. Tanggung jawab utama Durkheim adalah memberikan pedagogik untuk calon guru sekolah, dan mata kuliahnya yang paling penting adalah pendidikan moral. Alasan dari pendidikan moral sendiri adalah agar para pendidik mampu menularkan sistem moral kepada siswa-siswanya yang diharapkan memperbaiki kemrosotan moral yang Ialami masyarakat Prancis.
Pada tahun 1893, ia menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa Prancis, The Division of Labor in Society, dan tesisnya dalam bahasa latin tentang Montesqieu. Disusul pada tahun 1895, terbit pernyataan metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, lalu pada tahun 1897 metode-metode tersebut diterapkan dalam studi empiris pada buku Suicide. Pada tahun 1896 ia menjadi professor penuh di Bordeaux. Pada tahun 1902 ia diundang oleh universitas di Prancis paling terkenal, Sorbonne, dan pada tahun 1906 resmi menjadi professor untuk ilmu pendidikan, pada tahun 1913 bertambah satu jabatan dan berubah menjadi professor ilmu pendidikan dan sosiologi. Karya terkenal lainya adalah The Elementary Forms of Religious Life, terbit tahun 1912.
Kini Durkheim seringkali disebut sebagai seorang yang berhaluan politik konservatif termasuk pengaruhnya dalam bidang sosiologi. Namun, pada zamanya ia dikenal sebagai seorang liberal, dan ini tercermin ketika Ia secara aktif dalam membela Alfred Dreyfus, kapten tentara keturunan Yahudi yang dinyatakan bersalah melakukan pengkhianatan karena diduga membocorkan dokumen rahasia Prancis kepada kedutaan Jerman dan divonis mati oleh kebanyakan orang yang bermotif anti-Semitisme atau anti-Yahudi. Durkheim sangat tersinggung oleh persoalan Dreyfus itu, khususnya anti-Semit yang ada di dalamnya. Namun Durkehim tidak menyebut anti-Smitisme tersebut sebagai rasisme di kalangan mayarakat Prancis. Secara khusus, ia melihatnya sebagai suatu gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Prancis secara keseluruhan.
Ketika masyarakat mengalami penderitaan, ia harus menemukan seseorang yang dapat diintai pertanggung jawaban atas derita tersebut, yang menanggung nasib buruk: dan mereka yang ditentang publik pada dasranya telah dirancang untuk memainkan peran ini. Itu semua adalah kaum paria yang berfungsi sebagai korban yang dihukum. Yang meyakinkan saya dalam tafsir ini adalah bagaiman vonis pengadilan kasus dreyfus dibuat pada tahun 1894. Ada gelombang kegembiraan di boulevard. Orang merayakan bak kemenangan sesuatu yang seharusnya menjadi sebab bagi duka publik. Paling tidak mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas terjadinya kesulitan ekonomi dan tekanan moral yang mereka alami. Kesulitan datang dari orang Yahudi. Tuduhan inin telah dibuktikan secara resmi. Dengan fakta ini, beberapa hal tampak semakin baik dan orang merasa nyaman. (Lukes, 1972: 345)
Perhatian Durkheim terhadap kasus Dreyfus adalah perhatianya yang juga begitu dalam seumur hidupnya terhadap moralitas dan krisis moral yang dihadapi masyarkat modern. Menurutnya, jawaban atas kasus Dreyfus tidak lain karena akhir kekacauan moral yang ada dalam masyarakat. Karena perbaikan moral dalam masyarakat tidak dapat dilakukan secara mudah dan cepat, maka Durkheim menyarankan adanya tindakan yang lebih khusus seperti tindakan tegas bagi mereka yang memancing kebencian terhadap orang lain dan pemerintah dengan  berupaya menunjukan kepada masyarakat atau publik bahwa menyebarkan rasa kebencian itu adalah penyesatan dan terkutuk. Ia juga menyerukan kepada orang “berani menyuarakan dengan lantang apa yang mereka pikirkan, dan bersatu pada untuk meraih kemenangan dalam perjuangan melawan kegilaan publik” (Lukes, 1982:347)
Perhatian Durkheim pada sosialisme juga dijadikan bukti untuk melawan gagasan bahwa Ia adalah seorang konservatif, meski sosialisme ini sangat berbeda dengan pemikiran Marxisme. Ia menamakan Marxisme itu sebagai serangkaian “hipotesis yang data diperdebatkan dan ketinggalan zaman.” (Lukes, 1972: 323). Menurut Durkheim, sosialisme mempresentasikan gerakan yang ditujukan bagi regenerasi moral masyarakat melalui moralitas ilmiah, dan tidak dengan cara politik jangka pendek maupun pada aspek ekonomi sosialisme. Ia tidak melihat ploretariat sebagai berkah atau penyelamat bagi masyarkat, dan sangat menentang agitasi atau kekerasan. Menurutnya sosialisme, adalah suatu paham dan keadaan yang merepresentasikan sistem tempat di mana  prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah harus diberlakukan.
     Durkheim berpengaruh begitu besar terhadap perkembangan sosiologi, dan tak hanya terbatas pada bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain berasal dari jurnal L’annẻ Sociologique, yang ia dirikan pada tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual tumbuh dan berkembang dari jurnal itu dan Durkheim menjadi pusatnya. Melalui lingkaran itu, ia dan gaasan-gagasanya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang sedikit ironis, karena menyerang disiplin ini.
     Durkheim wafat pada tanggal 15 November 1917. Dia adalah sosok paling disegani di kalangan intelektual Prancis, namun baru dua puluh tahun kemudian, yakni Talcott Parson saat menerbitkan buku berjudul  The Structure of Social Action (1937), karya Durkheim mulai berpengaruh signifikan dalam sosiologi Amerika.

B.   Pembagian Kerja
The Division of Labor Society  (Durkheim,1893/1964) dikenal sebagai karya sosiologi klasik pertama. Dalam buku ini, Durkheim menggunakan ilmu sosiologi barunya  untuk meneliti sesuatu yang sering dilihat sebagai krisis moralitas. Krisis moral dibahas menggunakan metode positivistik.
Krisis moral muncul karena adanya Revolusi Prancis yang membuat orang-orang untuk mengutamakan hak-hak individual yang sering mengekspresikan diri sebagai serangan terhadap otoritas tradisional dan keyakinan religius. Hal ini menimbulkan ketidakteraturan di masyarakat. Hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain tidak berjalan dengan baik. Karena mereka memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan kehidupan bermasyarakat.
Setelah adanya Revolusi, Prancis telah merasakan tiga monarki, dua emporium, dan tiga republik. Rezim-rezim tersebut ditopang oleh empat belas konstitusi. Prussia mengalahkan Prancis pada tahun 1870. Keadaan ini memperumit krisis moral. Peristiwa tersebut juga diikuti oleh revolusi singkat dan penuh darah Paris Commune. Revolusi ini disinyalir sebagai penyebab munculnya persoalan-persoalan individualisme.
Menurut Auguste Comte masalah ini bisa ditelusuri ke dalam peningkatan pembagian kerja. Dalam masyarakat sederhana, mereka pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sama. Sehingga mereka memiliki pengalaman dan nilai yang sama. Pada masyarakat modern, setiap orang memiliki pekerjaan yang berbeda. Mereka meiliki pengalaman dan nilai yang berbeda. Hal ini yang merusak kepercayaan moral bersama yang sangat penting di masyarakat. Orang menjadi egois dan tidak mau berkorban demi orang lain. Comte berpendapat bahwa sosiologi akan menjadi “semacam” agama baru yang akan mengembalikan kohesi sosial. Namun, sampai taraf tertentu, The Division of Labor in Society justru bisa dilihat sebagai penyangkalan terhadap analisis Comte. Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja yang tinggi bukannya menandai keruntuhan moral sosial, melainkan melahirkan moralitas sosial jenis baru.
Tesis The Divison of Labor in Society adalah bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar bergantung satu sama lain. Fungsi ekonomis yang dimainkan oleh pembagian kerja menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah unuk menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih.



C.   Integrasi dan Solidaritas
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya, masarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Masyarakat modern dipertahankan bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak orang. Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi juga kelompok, struktur, dan intuisi. Menurut Durkhem, masyarakat primitif memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahaman, norma, dan kepercayaan bersama.
Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanis, kesadaran kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya; dia sangat diyakini, sangat rigid; dan isinya sangat bersifat religius. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organis, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok; tidak dirasakan terlalu mengikat; kurang rigid dan isinya adalah kepentingan individuyang lebih tinggi daripada pedoman moral.
Hal-hal yang menyebabkan perubahan solidaritas dalam masyarkat:
D.   Dinamika Penduduk
Perubahan solidaritas mekanis menjadi solidaritas organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Semakin banyak orang berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumberdaya yang ada. Semakin banyaknya orang juga menyebabkan semakin meningkatkan jumlah interaksi. Berarti, mereka bersaing untuk bertahan di antara komponen-komponen yang ada di masyarakat. Pembagian kerja di dalam masyarakat merupakan hal yang baik. Karena dengan adanya pembagian kerja, anggota masyarakat bisa saling melengkapi. Selain itu, juga dapat meningkatkan sumber daya, dan menciptakan kompetsi secara damai.
Dalam masyarakat dengan solidaritas organis, kompetisi yang kurang dan diferensiasi yang tinggi memungknkan orang bekerja sama dan sama-sama ditopang oleh sumber daya yang sama. Diferensiasi justru menciptakan ikatan yang lebih erat dari pada persamaan. Masyarakat dengan solidaritas organis membentuk ikatan yang solid dan individual daripada masyarakat dengan solidaritas mekanis. Individualitas tidak menyebabkan kehancuran suatu katan tetapi memperkuat ikatan tersebut.

E.   Hukum Represif dan Resitutif
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena masyarakat seperti itu memiliki kesaman norma dan moralitas bersama. Apabila ada individu melanggar maka seluruh anggota masyarakat merasakan dampak dari pelanggaran tersebut. Maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggaran tersebut sistem moral kolektif. Biasanya hukuman yang diterapkan sangat berat walaupun pelanggaran yang dilakukan sangat kecil. Misalnya, apabila ada dua orang berzina, maka mereka dihukum rajam.
Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran yang terjadi dilihat sebagai serangan terhadap individu atau segmen lain, bukan terhadap sistem moral. Para pelanggar dalam masyarakat organis akan dituntut untuk membuat restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan meraka.

F.    Normal dan Patologi
Durkheim berpendapat bahwa sosiolog mampu membedakan masyarakat sehat dan masyarakat patologis. Kriteria masyarakat sehat adalah masyarakat tersebut memiliki kondisi yang sama dalam masyarakat lain yang sedang berada pada level yang sama. Jika masyarakat tidak berada dalam kondisi yang biasanya mesti dimilikinya, maka bisajadi masyarakat itu sedang mengalami patologi.
Menurut Durkheim, kriminal adalah sesuatu yang normal dan bukan pantologis. Kriminal mendorong masyarakat mendefinisikan dan membuktikan kesadaran kolektivitas mereka.
Durkheim menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk abnormal yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Terdapat tiga bentuk pembagian kerja abnormal.
a)      Pembagian kerja anomik, yaitu tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. Masyarakat modern selalucenderung melakukan anomi, namun akan mencuat ke permukaan manakala terjadi krisis sosial dan ekonomi.
b)      Pembagian kerja yang dipaksakan, hal ini merujuk pada fakta bahwa norma yang ketinggalan zaman dan harapan-harapan bisa memaksa individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka.
c)      Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk, fungsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh orang yang berbeda-beda tidak diatur dengan baik. Solidaritas organis berasal dari kesalingketergantungan antarmereka. Jika spesialsasi seseorang tidak lahir dari kesalingketergantungan yang makin meningkat, melainkan dalam isolasi, maka pembagian kerja tidak akan terjadi di dalam solidaritas sosial.

G.  Keadilan
Masyarakat modern tidak disatukan oleh pengalaman dan kepercayaan bersama, melainkan perbedaan yang terdapat di dalamnya, sejauh perbedaan tersebut mendorong perkembangan tempat terjadinya kesalingtergantungan. Maka yang paling berpengaruh adalah keadilan sosial.

H.  Fenomena Bunuh Diri
Dalam bukunya yang kedua Suicide, dikemukakan dengan jelas, hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang melakukan bunuh diri. Tujuannya dalam studi kali ini, selain untuk berkontribusi terhadap pemahaman persoalan sosial, juga untuk menunjukan sebuah kekuatan disiplin sosiologi. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual. Dan dengan pendekatan disiplin sosiologi yang baru ini, ia percaya dapat memperluas ranah sosiologi kepada fenomena-fenomena lain yang terbuka bagi analisis sosiologi.
Durkheim tidak mempelajari mengapa seseorang melakukan bunuh diri. Karena itu adalah wilayah studi psikologi. Perhatiannya adalah menjelaskan perbedaan angka bunuh diri dari beberapa negara. Ia memiliki asusmsi mengenai fakta sosial yang melatarbelakangi fenomena bunuh diri ini sekaligus kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih itnggi. Durkheim menggunakan dua cara yang saling berhubungan untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Pertama dengan membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe lain.  Kedua, dengan melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah masyarakat atau kelompok dalam rentang waktu tertentu. Jika ada perbedaan dalam angka bunuh diri antara suatu kelompok dengan kelompok lain atau dari suatu periode dengan periode yang lain, maka menurut Durkheim perbedaan tersebut adalah akibat dari perbedaan faktor-faktor sosial atau arus sosial.
Dengan angka-angka statistik dari hasil penelitiannya di beberapa negara, dia menunjukan penolakannya terhadap teori-teori lama tentang bunuh diri tersebut. Kalau kemiskinan, menurut Durkheim, kenyataannya orang-orang dari lapisan atas(kaya) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya dbanding dengan orang-orang dari lapisan bawah(miskin). Hal itu ditunjukannya dengan mengatakan bahwa di negara-negara miskin di Eropa seperti Italia dan Spanyol, justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang lebih makmur, seperti Prancis, Jerman,dan negara-negara Skandinavia. Lalu Durkheim menambahkan bahwa, jika diselidiki, sebenarnya ada pola yang lebih teratur dari pada sebab-sebab serta penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh teori-teori terdahulu mengenai bunuh diri. Angka bunuh diri yang ditunjukan dari suatu kelompok atau masyarakat bersumber pada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, bunuh diri harus dipelajari dengan menghubungkanya dengan struktur sosial dari masyarakat atau negara yang bersangkutan, kata Durkheim. Data-data yang dikumpulkan oleh Durkheim untuk menunjukkan bahwa di negara-negara tertentu terdapat angka bunuh diri yang hamper tidak berbeda dari waktu ke waktu sebagai berikut:

1849
1850
1851
1852
1853
Prancis
3583
3596
3598
3678
3415
Rusia
1507
1736
1009
2073
1942
Saksen
328
390
402
530
431
Bavaria
189
250
260
226
269
Denmark
337
340
401
426
419

Demikian juga halnya dengan usaha Durkheim untuk menolak bahwa bunuh diri diakibatkan karena sebab-sebab psikologis, dia menunjukan angka-angka bunuh diri dari berbagai negara sebagai berikut :

Negara
Jumlah orang sakit jiwa
Urutan
Urutan
Angka bunuh diri
Norwegia
180
1
4
107
Skotlandia
164
2
8
34
Denmark
125
3
1
258
Hannover
105
4
9
13
Prancis
99
5
5
100
Belgia
93
6
7
50
Wurtenburg
92
7
3
108
Saksen
67
8
2
245
Bavaria
57
9
6
73

Table diatas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada pengaruh psikologis yang membawa masyakarat melakukan bunuh diri. Norwegia menunjukan angka orang sakitjiwa terbanyak diantara 8 negara lain, tetapi menduduki peringkat 4 dalam angka bunuh diri. Denmark menduduki peringkat 3 dalam angka sakit jiwa tetapi memiliki angka terbanyak dalam angka bunuh diri. Dan seterusnya. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.

Empat Jenis Bunuh Diri
Teori bunuh diri Durkheim bisa dilihat lebih jelas jika kita mencermati hubungan jenis-jenis bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya, yaitu Integrasi dan Regulasi. Integrasi  condong berarti kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat. Regulasi condong berarti tingkat paksaan eksternal yang dialami individu. Menurut Durkheim, dua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat. Jika integrasi meningkat, Durkheim mengelompokkanya menjadi bunuh diri Altruis. Jika integrasi menurun, akibatnya dalah peningkatan bunuh diri egoistis. Bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi yang tinggi, sementara bunuh diri anomik adalah rendahnya regulasi.

Arus Sosial
Tingkat
Jenis Bunuh Diri
Integrasi
Tinggi
Altruistis
Rendah
Egoistis
Regulasi
Tinggi
Anomik
Rendah
Fatalistis

1.      Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarkat dan masyarkat bukan pula sebagai bagian dari individu. Lemahnya integrasi melahirkan suatu arus sosial yang khas, dan arus tersebut memunculkan angka bunuh diri. Misalnya, Durkheim berbicara tentang disintegrasi masyarakat yang melahirkan “arus depresi dan kekecewaan”. Sebaliknya, kelompok yang memiliki integrasi yang kuat akan mencegah terjadinya bunuh diri. Arus sosial yang melindungi dan mengayomi yang lahir dari masyarkat akan mencegah terjadinya bunuh diri egoistis, diantaranya, memberikan seseorang makna hidup dalam pengertian yang lebih luas.

Agama melindungi manusia dari keinginan untuk menganiaya dirinya sendiri…. Yang membentuk agama adalah keberadaan sejumlah kepercayaan dan praktik tertentu yang dianut dan dilakukan bersama oleh sekelompok orang beriman, yang diwarisi turun temurun dan oleh karena itu bersifat mewajibkan. Makin banyak dan kuat kerangka berpikir semacam ini, maka semakin kuat pulalah integrasi di dalam kelompok keagamaan tersebut dan nilai-nilai yang mempertahankanya juga makin besar.
(Durkheim, 1897/1951: 170)

Seperti yang telah dijelaskan Durkheim diatas, Agama mencegah manusia untuk bunuh diri, akan tetapi tak semua agama memberikan tingkat perlindungan yang sama terhadap bunuh diri. berikut adalah table perbandingan angka bunuh diri yang berbeda dari negara-negara penganut agama Katolik, Protestan, dan Katolik orthodox.

Negara Protestan
Negara Roma Katolik
Negara Katolik Mayoritas
Negara Katolik Ortodox
Laju bunuh diri
(1:1 juta orang)
190
90
58
40

Jawaban Durkheim atas perbedaan itu adalah bahwa sebab dari perbedaan angka bunuh diri antara penganut agama  Protestan dan Katolik adalah terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada penganutnya. Kebebasan yang lebih diberikan agama protestan dalam mempelajari sendiri hakekat ajaran kitab suci, oleh karena itu kepercayaan bersama orang-orang protestan menjadi berkurang. Setiap orang berhak memiliki tafsir yang berbeda, sehingga dari situ integrasi yang dimiliki oleh masyarkat protestan lebih rendah dari pada masyarkat katolik. Begitu pula sebaliknya dengan masyarkat katolik. Akhirnya angka bunuh diri yang terdapat pada masing-masing masyarakat penganut agama berbeda karena integrasi dalam agama yang berbeda pula.

2.      Bunuh Diri Altruistis
Bunuh diri Altruistis terjadi ketika integrasi sosial yang ada di dalam masyarakat menguat. Dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Contoh dari bunuh diri ini adalah bunuh diri harakiri dan sepukku dalam masyarakat jepang, keyakinan mati syahid oleh seorang teroris, dan lain sebagainya. Secara umum, orang melakukan bunuh diri altruistis karena mereka merasa itu adalah tugas mereka demi sebuah kebaikan yang mereka yakini. Seorang individu dalam masyarakat yang integrasi sosialnya tinggi akan merasa membawa aib bagi kesatuanya meski hanya karena kesalahan sepele dan mereka bisa lebih memilih bunuh diri.

3.      Bunuh Diri Anomik
Bunuh diri ini terjadi saat kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Hal ini bisa muncul karena lemahnya kontrol sosial yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pengatur nafsu mereka yang tak terbatas. Anomi sendiri merupakan suatu keadaan tanpa norma yang memungkinkan seseorang merasa tidak mempunyai norma dan aturan yang membimbing mereka sehari-hari. Selanjutnya, mereka juga merasa tidak mempunyai apa-apa dan tempat untuk ditinggali. Mereka yang mungkin merasakan situasi anomi adalah tunawisma dan yatim piatu.

4.      Bunuh Diri Fatalistik
Bunuh diri ini disebabkan oleh situasi yang merupakan kebalikan dari anomi. Tingkat regulasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan seorang melakukan bunuh diri. Terdapat kontrol yang berlebihan dari suatu pihak yang kuat terhadap pihak yang lebih lemah dalam suatu struktur masyarkat. Durkheim mengatakan keadaan itu saat seseorang merasa masa depanya telah tertutup dan nafsu yang  tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh bunuh diri ini adalah seorang budak yang lebih baik membunuh dirinya sendiri dari pada merasakan kontrol yang berlebihan dalam hidupnya.

I.      Sosiologi Agama
Di dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, Durkheim mengulas tuntas mengenai sifat-sifat, sumber, bentuk-bentuk, akibat dan variasi agama dari sudut pandangan sosiologistik. Agama menurut Durkheim adalah “ an unfied system of belief and practices relative to sacred things”, dan selanjutnya ditambahkan pula “that is to say, things set apart and forbidden – belief and practice wich unite into one single moral community called curch all those who adhare to them”. Asal mula agama menurut Durkheim adalah berasal dari masyarakat sendiri. Setiap masyarakat selalu membedakan sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawiah. Durkheim tidak percaya tentang realitas supranatural apapun yang menjadi sumber perasaan agama tersebut. Namun, kebenaran ada suatu kekuatan moral yang superior yang member inspirasi kepada pengikut, dan kekuatan itu adalah masyarakat, bukan Tuhan. Masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan kita, menekan sifat egois kita, dan mengisi kita dengan energi. Dan apa yang menjadi pendapat dasar Durkheim adalah bahwa agama merupakan perwujudan dari Collective Consciousness atau kesadaran kolektif.
Selain adanya yang sakral dan yang profane terdapat tiga persyaratan lain yang dibutuhkan bagi keberadaan agama. Pertama Kepercayaan, yang diartikan Durkheim sebagai representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesame hal sakral atau dengan hal yang profan. Kedua, ada ritual. Yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap terhadap hal-hal yang sakral itu. Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya.
Durkheim melakukan penelitian empirisnya di Australia, tepatnya pada masyarakat suku Arunta. Dalam mempelajari agama dalam budaya primitif pada suku Arunta tersebut, Durkheim percaya akan mendapatkan pengetahuan tentang hakikat agama yang sebenarnya yang masih murni belum ada pembaharuan oleh pemikir-pemikir agama seperti pada agama-agama modern. Tetapi studi pada agama primitif tersebut akan ia gunakan pula untuk mempelajari agama modern. Dari studinya itu Durkheim menjumpai apa yang disebut totem, yaitu benda yang dianggap suci. Totem ini merupakan pusat upacara keagamaan dari orang-orang primitif tersebut. Sebenarnya Totem yang dianggap suci itu tidak lain adalah hanya sebuah simbol, yaitu seperti pada penjelasan diatas adalah simbol dari Tuhan. Tuhan yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kemudian menjelma menjadi representasi kolektif yakni berupa lambing-lambang yang berwujud ajaran-ajaran Totem.  Durkheim berkesimpulan bahwa Tuhan itu hanyalah sebuah idealism dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna. Sehingga ia berkesimpulan bahwa agama merupakan lambing kolektif atau representasi kolektif dari masyarkat dengan bentuk yang ideal.

J.     Kritik Terhadap Durkheim
Di lihat dari sisi fungsonalisme dan positivisme, fokus Durkheim pada fakta-fakta sosial level makro merupakan salah satu alasan kenapa karyanya memliki peran sentral dalam perkembangan fungsionalisme struktural yang juga sama-sama berorientasi makro(fungsionalisme sturktural). Namun apakah Durkheim adalah seorang fungsionalis atau tidak masih bisa diperdebatkan, tergantung dari sudut pandang mana kita mendefinisikan fungsionalisme.
Untuk masalah solidaritas sosial, dalam satu tempat tidak mungkin berlaku dua jenis solidaritas.  Solidaritas organik dan mekanik memiliki ciri masing-masing.  Selain itu mereka juga memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.  Teori ini sebenarnya masih berlaku di kehidupan di masyarakat.  Namun cenderung lebih condong ke solidaritas organik karena masyarakat sekarang sudah mulai menuju modern bahkan sudah modern dan ini membuat mau tidak mau spesialisasi itu terjadi dengan sendirinya.




BAB III
Penutup

Kesimpulan
Emile Durkheim adalah seorang sosiolog terkenal dari Perancis.Selama hidupnya ia menulis banyak buku diantaranya adalah The Division of Labor in Society, The Rules of Sociological Method, The Elementary Form of Religious Life,dan Suicide.
Durkheim terkenal dengan teorinya yang disebut dengan “fakta sosial”.Menurutnya,Fakta sosial adalah cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berperilaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pada saat yang sama keberadaanya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Dalam bukunya The Division of Labor in Society,ia mengemukakan mengenai solidaritas sosial yang kemudian ia bagi menjadi solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena masyarakat seperti itu memiliki kesaman norma dan moralitas bersama. Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran yang terjadi dilihat sebagai serangan terhadap individu atau segmen lain, bukan terhadap sistem moral.
Dalam bukunya yang kedua Suicide,dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang melakukan bunuh diri. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual.Ada empat jenis bunuh diri menurut Durkheim yaitu Altruistis,Egoistis,Anomik dan Fatalistis.
Selain itu di dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, Durkheim mengulas tuntas mengenai sifat-sifat, sumber, bentuk-bentuk, akibat dan variasi agama dari sudut pandangan sosiologistik. Asal mula agama menurut Durkheim adalah berasal dari masyarakat sendiri. Setiap masyarakat selalu membedakan sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawiah.



DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Douglas J. 2004. Goodman. Teori Sosiologi. Nurhadi (penerjemah). Yogyakarta: KREASI WACANA
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Osborne, Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal Sosiologi for Beginners. Siti Kusumawati A. (penerjemah). Bandung: Mizan
Paisal, Doktor. Biografi Emile Durkheim. http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-emile-durkheim/. Diakses pada Jum’at 20 September 2013.


0 komentar:

Posting Komentar