BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Durkheim dianggap sebagai “bapak”
sosiologi modern, karena usaha-usahanya menjadikan sosiologi sebagai sebuah
disiplin ilmu yang baru. Ia percaya bahwa masyarakat dapat dipelajari secara
ilmiah. Ia menolak pendekatan individual dalam memahami fenomena dalam
masyarakat dan lebih memilih pendekatan secara sosial. Oleh karena itu ia juga
berusaha memperbaiki metoda berpikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan
pada pemikiran-pemikiran logika filosofi tetapi sosiologi. Menurut Durkheim, masyarakat dibentuk oleh
“fakta sosial” yang melampaui pemahaman intuitif kita dan mesti diteliti
melalui observasi dan pengukuran. Ide tersebut adalah inti dari sosiologi yang menyebabkan
Durkheim sering Dianggap sebagai “bapak” sosiologi (Gouldner, 1958). Meskipun
istilah “sosiologi” telah dilahirkan Auguste Comte beberapa tahun sebelumnya,
namun belum ada
lapangan sosiologi yang berdiri sendiri dalam universitas pada akhir abad ke-19. Belum ada sekolah, departemen, apalagi professor dalam bidang sosiologi. Tantangan yang signifikan dari sosiologi adalah filsafat dan psikologi, dua ranah ilmu ini mengklaim melingkupi ranah yang ingin diduduki sosiologi. Cita-cita Durkheim terhadap sosiologi sekaligus menjadi dilemanya adalah menjadikan sosiologi menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan merupakan ranah yang bisa diidentifikasi.
lapangan sosiologi yang berdiri sendiri dalam universitas pada akhir abad ke-19. Belum ada sekolah, departemen, apalagi professor dalam bidang sosiologi. Tantangan yang signifikan dari sosiologi adalah filsafat dan psikologi, dua ranah ilmu ini mengklaim melingkupi ranah yang ingin diduduki sosiologi. Cita-cita Durkheim terhadap sosiologi sekaligus menjadi dilemanya adalah menjadikan sosiologi menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri dan merupakan ranah yang bisa diidentifikasi.
Untuk memisahkan sosiologi dari
filsafat, Durkheim berpendapat bahwa sosiologi mesti berorientasi kepada
penelitian empiris. Ia merasa terancam oleh aliran filsafat yang terdapat dalam
sosiologi itu sendiri. Dalam pandanganya, tokoh utama lainya seperti Auguste Comte dan Herbert Spencer,
keduanya lebih memiliki perhatian pada filsafat, dalam teori abstrak, kemudian
mereka mempelajari dunia sosial secara empiris. Jika ranah ini diteruskan
berdasarkan arah yang disusun oleh Comte dan Spencer, Durkheim khawatir, ranah
ilmu ini tidak akan lebih dari sekadar sebuah cabang filsafat. Artinya,
Durkheim merasa perlu mengkritik Comte dan Spencer karena mereka terlalu
berpegang pad aide yang ada tentang fenomena sosial, dan bukanya pada studi
atas dunia riil secara aktual. Ia menganggap Comte masih keliru karena telah
mengandaikan secara teoritis bahwa dunia sosial selalu bergerak menuju kondisi
masyarakat yang kian lama kian sempurna bukannya melakukan kerja ilmiah yang
sungguh-sungguh, ketat, dan mendasar dalam mengkaji perubahan hakikat berbagai
masyarakat. Spencer pun juga begitu, dia dianggap mengandaikan begitu saja
adanya harmoni dalam masyarkat, dan bukanya mengkaji apakah harmoni itu
benar-benar ada atau tidak.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi Emile Durkheim dan perjalanan hidupnya yang mempengaruhi
teori-teorinya?
2. Apa
saja teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim?
3. Bagaimana
kritik-kritik terhadap teori-teori emile Durkheim?
C.
Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
biografi dan latarbelakang Emile Durkheim yang mempengaruhi teori-teorinya
2. Mengetahui
dan memahammi teori-teori yang dikemukaan oleh Emile Durkheim
3. Mengetahui
kritik dan kelemahan teori Emile Durkheim
BAB II
Pembahasan
A.
Biografi
Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir pada tanggal 15 April
1858 di Epinal, Prancis. Ia berasal dari keluarga rabbi atau pendeta bagi kaum Yahudi.
Tetapi pada umur belasan tahun, Ia menyangkal silsilah keturunanya (Strenski,
1997: 4). Sejak saat itu, minat terhadap agama lebih akademis daripada teologis
(Mestrovic, 1988). Ia tidak hanya kecewa dengan ajaran agama, namun juga pada
pendidikan umum dan penekananya pada soal-soal literer dan estetis. Ia
mendambakan bisa mempelajari metode-metode ilmiah dan prinsip-prinsip moral
yang bisa memandu kehidupan sosial. Pada tahun 1887 Ia mengajar filsafat di
beberapa sekolah provinsi di sekitar Paris.
Keinginanya
dalam mempelajari ilmu pengetahuan semakin besar ketika Ia melakukan perjalanan
ke Jerman. Disana Ia mengenal psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm
Wundt. Di tahun-tahun setelah kunjunganya ke Jerman, Durkheim menrbitkan
beberapa karya yang menuliskan pengalamanya di Jerman. Publikasi-publikasi ini
membantu Ia memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeaux
pada tahun 1887. Disana Durkheim memberikan kuliah dalam ilmu sosial di sebuah
Universitas Prancirs untuk pertama kalinya. Hal ini merupakan prestasi
terbesar, karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan menggemparkan
merebak di sebuah Universiras Prancis setelah seorang mahasiswa menyebut
Auguste Comte dalam disertasinya. Tanggung jawab utama Durkheim adalah
memberikan pedagogik untuk calon guru sekolah, dan mata kuliahnya yang paling
penting adalah pendidikan moral. Alasan dari pendidikan moral sendiri adalah
agar para pendidik mampu menularkan sistem moral kepada siswa-siswanya yang
diharapkan memperbaiki kemrosotan moral yang Ialami masyarakat Prancis.
Pada tahun 1893,
ia menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa Prancis, The Division of Labor in Society, dan tesisnya dalam bahasa latin
tentang Montesqieu. Disusul pada tahun 1895, terbit pernyataan metodologi
utamanya, The Rules of Sociological
Method, lalu pada tahun 1897 metode-metode tersebut diterapkan dalam studi
empiris pada buku Suicide. Pada tahun
1896 ia menjadi professor penuh di Bordeaux. Pada tahun 1902 ia diundang oleh
universitas di Prancis paling terkenal, Sorbonne, dan pada tahun 1906 resmi
menjadi professor untuk ilmu pendidikan, pada tahun 1913 bertambah satu jabatan
dan berubah menjadi professor ilmu pendidikan dan sosiologi. Karya terkenal
lainya adalah The Elementary Forms of
Religious Life, terbit tahun 1912.
Kini Durkheim
seringkali disebut sebagai seorang yang berhaluan politik konservatif termasuk
pengaruhnya dalam bidang sosiologi. Namun, pada zamanya ia dikenal sebagai
seorang liberal, dan ini tercermin ketika Ia secara aktif dalam membela Alfred
Dreyfus, kapten tentara keturunan Yahudi yang dinyatakan bersalah melakukan
pengkhianatan karena diduga membocorkan dokumen rahasia Prancis kepada kedutaan
Jerman dan divonis mati oleh kebanyakan orang yang bermotif anti-Semitisme atau
anti-Yahudi. Durkheim sangat tersinggung oleh persoalan Dreyfus itu, khususnya
anti-Semit yang ada di dalamnya. Namun Durkehim tidak menyebut anti-Smitisme
tersebut sebagai rasisme di kalangan mayarakat Prancis. Secara khusus, ia
melihatnya sebagai suatu gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Prancis
secara keseluruhan.
Ketika
masyarakat mengalami penderitaan, ia harus menemukan seseorang yang dapat
diintai pertanggung jawaban atas derita tersebut, yang menanggung nasib buruk:
dan mereka yang ditentang publik pada dasranya telah dirancang untuk memainkan
peran ini. Itu semua adalah kaum paria yang berfungsi sebagai korban yang
dihukum. Yang meyakinkan saya dalam tafsir ini adalah bagaiman vonis pengadilan
kasus dreyfus dibuat pada tahun 1894. Ada gelombang kegembiraan di boulevard. Orang merayakan bak
kemenangan sesuatu yang seharusnya menjadi sebab bagi duka publik. Paling tidak
mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas terjadinya kesulitan ekonomi dan
tekanan moral yang mereka alami. Kesulitan datang dari orang Yahudi. Tuduhan
inin telah dibuktikan secara resmi. Dengan fakta ini, beberapa hal tampak
semakin baik dan orang merasa nyaman. (Lukes, 1972: 345)
Perhatian
Durkheim terhadap kasus Dreyfus adalah perhatianya yang juga begitu dalam
seumur hidupnya terhadap moralitas dan krisis moral yang dihadapi masyarkat
modern. Menurutnya, jawaban atas kasus Dreyfus tidak lain karena akhir
kekacauan moral yang ada dalam masyarakat. Karena perbaikan moral dalam
masyarakat tidak dapat dilakukan secara mudah dan cepat, maka Durkheim
menyarankan adanya tindakan yang lebih khusus seperti tindakan tegas bagi
mereka yang memancing kebencian terhadap orang lain dan pemerintah dengan berupaya menunjukan kepada masyarakat atau
publik bahwa menyebarkan rasa kebencian itu adalah penyesatan dan terkutuk. Ia
juga menyerukan kepada orang “berani menyuarakan dengan lantang apa yang mereka
pikirkan, dan bersatu pada untuk meraih kemenangan dalam perjuangan melawan
kegilaan publik” (Lukes, 1982:347)
Perhatian Durkheim pada
sosialisme juga dijadikan bukti untuk melawan gagasan bahwa Ia adalah seorang
konservatif, meski sosialisme ini sangat berbeda dengan pemikiran Marxisme. Ia
menamakan Marxisme itu sebagai serangkaian “hipotesis yang data diperdebatkan
dan ketinggalan zaman.” (Lukes, 1972: 323). Menurut Durkheim, sosialisme
mempresentasikan gerakan yang ditujukan bagi regenerasi moral masyarakat
melalui moralitas ilmiah, dan tidak dengan cara politik jangka pendek maupun
pada aspek ekonomi sosialisme. Ia tidak melihat ploretariat sebagai berkah atau
penyelamat bagi masyarkat, dan sangat menentang agitasi atau kekerasan.
Menurutnya sosialisme, adalah suatu paham dan keadaan yang merepresentasikan
sistem tempat di mana prinsip moral
ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah harus diberlakukan.
Durkheim
berpengaruh begitu besar terhadap perkembangan sosiologi, dan tak hanya
terbatas pada bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang
lain berasal dari jurnal L’annẻ
Sociologique, yang ia dirikan pada tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual
tumbuh dan berkembang dari jurnal itu dan Durkheim menjadi pusatnya. Melalui
lingkaran itu, ia dan gaasan-gagasanya mempengaruhi berbagai bidang seperti
antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang sedikit ironis, karena
menyerang disiplin ini.
Durkheim
wafat pada tanggal 15 November 1917. Dia adalah sosok paling disegani di
kalangan intelektual Prancis, namun baru dua puluh tahun kemudian, yakni
Talcott Parson saat menerbitkan buku berjudul
The Structure of Social Action (1937),
karya Durkheim mulai berpengaruh signifikan dalam sosiologi Amerika.
B.
Pembagian
Kerja
The
Division of Labor Society (Durkheim,1893/1964) dikenal sebagai karya
sosiologi klasik pertama. Dalam buku ini, Durkheim menggunakan ilmu sosiologi
barunya untuk meneliti sesuatu yang
sering dilihat sebagai krisis moralitas. Krisis moral dibahas menggunakan
metode positivistik.
Krisis moral muncul karena adanya
Revolusi Prancis yang membuat orang-orang untuk mengutamakan hak-hak individual
yang sering mengekspresikan diri sebagai serangan terhadap otoritas tradisional
dan keyakinan religius. Hal ini menimbulkan ketidakteraturan di masyarakat.
Hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain tidak berjalan
dengan baik. Karena mereka memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan
kehidupan bermasyarakat.
Setelah adanya Revolusi, Prancis telah
merasakan tiga monarki, dua emporium, dan tiga republik. Rezim-rezim tersebut
ditopang oleh empat belas konstitusi. Prussia mengalahkan Prancis pada tahun
1870. Keadaan ini memperumit krisis moral. Peristiwa tersebut juga diikuti oleh
revolusi singkat dan penuh darah Paris
Commune. Revolusi ini disinyalir sebagai penyebab munculnya
persoalan-persoalan individualisme.
Menurut Auguste Comte masalah ini bisa
ditelusuri ke dalam peningkatan pembagian kerja. Dalam masyarakat sederhana,
mereka pada dasarnya melakukan pekerjaan yang sama. Sehingga mereka memiliki
pengalaman dan nilai yang sama. Pada masyarakat modern, setiap orang memiliki
pekerjaan yang berbeda. Mereka meiliki pengalaman dan nilai yang berbeda. Hal
ini yang merusak kepercayaan moral bersama yang sangat penting di masyarakat.
Orang menjadi egois dan tidak mau berkorban demi orang lain. Comte berpendapat
bahwa sosiologi akan menjadi “semacam” agama baru yang akan mengembalikan
kohesi sosial. Namun, sampai taraf tertentu, The Division of Labor in Society justru bisa dilihat sebagai
penyangkalan terhadap analisis Comte. Durkheim berpendapat bahwa pembagian
kerja yang tinggi bukannya menandai keruntuhan moral sosial, melainkan
melahirkan moralitas sosial jenis baru.
Tesis The Divison of Labor in Society adalah bahwa masyarakat modern
tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaan yang
sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa
mereka agar bergantung satu sama lain. Fungsi ekonomis yang dimainkan oleh
pembagian kerja menjadi tidak penting dibandingkan dengan efek moralitas yang
dihasilkannya. Maka fungsi sesungguhnya dari pembagian kerja adalah unuk
menciptakan solidaritas antara dua orang atau lebih.
C.
Integrasi
dan Solidaritas
Masyarakat yang ditandai oleh
solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah
generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat
dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Sebaliknya,
masarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan
perbedaan yang ada di dalamnya, dengan fakta bahwa semua orang memiliki
pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Masyarakat modern dipertahankan
bersama oleh spesialisasi orang dan kebutuhan mereka akan jasa sekian banyak
orang. Spesialisasi ini tidak hanya pada tingkat individu saja, akan tetapi
juga kelompok, struktur, dan intuisi. Menurut Durkhem, masyarakat primitif
memiliki kesadaran kolektif yang lebih kuat, yaitu pemahaman, norma, dan
kepercayaan bersama.
Di dalam masyarakat yang dibentuk oleh
solidaritas mekanis, kesadaran kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat
dan seluruh anggotanya; dia sangat diyakini, sangat rigid; dan isinya sangat
bersifat religius. Sementara dalam masyarakat yang memiliki solidaritas
organis, kesadaran kolektif dibatasi pada sebagian kelompok; tidak dirasakan
terlalu mengikat; kurang rigid dan isinya adalah kepentingan individuyang lebih
tinggi daripada pedoman moral.
Hal-hal yang menyebabkan perubahan
solidaritas dalam masyarkat:
D.
Dinamika
Penduduk
Perubahan solidaritas mekanis menjadi
solidaritas organis disebabkan oleh dinamika penduduk. Semakin banyak orang
berarti makin meningkatnya kompetisi memperebutkan sumberdaya yang ada. Semakin
banyaknya orang juga menyebabkan semakin meningkatkan jumlah interaksi.
Berarti, mereka bersaing untuk bertahan di antara komponen-komponen yang ada di
masyarakat. Pembagian kerja di dalam masyarakat merupakan hal yang baik. Karena
dengan adanya pembagian kerja, anggota masyarakat bisa saling melengkapi.
Selain itu, juga dapat meningkatkan sumber daya, dan menciptakan kompetsi
secara damai.
Dalam masyarakat dengan solidaritas
organis, kompetisi yang kurang dan diferensiasi yang tinggi memungknkan orang
bekerja sama dan sama-sama ditopang oleh sumber daya yang sama. Diferensiasi
justru menciptakan ikatan yang lebih erat dari pada persamaan. Masyarakat
dengan solidaritas organis membentuk ikatan yang solid dan individual daripada
masyarakat dengan solidaritas mekanis. Individualitas tidak menyebabkan
kehancuran suatu katan tetapi memperkuat ikatan tersebut.
E.
Hukum
Represif dan Resitutif
Durkheim berpendapat bahwa masyarakat
dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena masyarakat
seperti itu memiliki kesaman norma dan moralitas bersama. Apabila ada individu
melanggar maka seluruh anggota masyarakat merasakan dampak dari pelanggaran
tersebut. Maka pelanggar tersebut akan dihukum atas pelanggaran tersebut sistem
moral kolektif. Biasanya hukuman yang diterapkan sangat berat walaupun
pelanggaran yang dilakukan sangat kecil. Misalnya, apabila ada dua orang
berzina, maka mereka dihukum rajam.
Sebaliknya, masyarakat dengan
solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Seseorang yang melanggar
mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran yang terjadi
dilihat sebagai serangan terhadap individu atau segmen lain, bukan terhadap
sistem moral. Para pelanggar dalam masyarakat organis akan dituntut untuk membuat
restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan meraka.
F.
Normal
dan Patologi
Durkheim berpendapat bahwa sosiolog
mampu membedakan masyarakat sehat dan masyarakat patologis. Kriteria masyarakat
sehat adalah masyarakat tersebut memiliki kondisi yang sama dalam masyarakat
lain yang sedang berada pada level yang sama. Jika masyarakat tidak berada
dalam kondisi yang biasanya mesti dimilikinya, maka bisajadi masyarakat itu
sedang mengalami patologi.
Menurut Durkheim, kriminal adalah
sesuatu yang normal dan bukan pantologis. Kriminal mendorong masyarakat
mendefinisikan dan membuktikan kesadaran kolektivitas mereka.
Durkheim menggunakan ide patologi untuk
mengkritik beberapa bentuk abnormal yang ada dalam pembagian kerja masyarakat
modern. Terdapat tiga bentuk pembagian kerja abnormal.
a) Pembagian
kerja anomik, yaitu tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai
individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberitahu masyarakat tentang apa
yang harus mereka kerjakan. Masyarakat modern selalucenderung melakukan anomi,
namun akan mencuat ke permukaan manakala terjadi krisis sosial dan ekonomi.
b) Pembagian
kerja yang dipaksakan, hal ini merujuk pada fakta bahwa norma yang ketinggalan
zaman dan harapan-harapan bisa memaksa individu, kelompok, dan kelas masuk ke
dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka.
c) Pembagian
kerja yang terkoordinasi dengan buruk, fungsi-fungsi khusus yang dilakukan oleh
orang yang berbeda-beda tidak diatur dengan baik. Solidaritas organis berasal
dari kesalingketergantungan antarmereka. Jika spesialsasi seseorang tidak lahir
dari kesalingketergantungan yang makin meningkat, melainkan dalam isolasi, maka
pembagian kerja tidak akan terjadi di dalam solidaritas sosial.
G. Keadilan
Masyarakat modern tidak disatukan oleh
pengalaman dan kepercayaan bersama, melainkan perbedaan yang terdapat di
dalamnya, sejauh perbedaan tersebut mendorong perkembangan tempat terjadinya
kesalingtergantungan. Maka yang paling berpengaruh adalah keadilan sosial.
H. Fenomena Bunuh Diri
Dalam bukunya yang kedua Suicide, dikemukakan dengan jelas,
hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang melakukan
bunuh diri. Tujuannya dalam studi kali ini, selain untuk berkontribusi terhadap
pemahaman persoalan sosial, juga untuk menunjukan sebuah kekuatan disiplin
sosiologi. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan
bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual.
Dan dengan pendekatan disiplin sosiologi yang baru ini, ia percaya dapat
memperluas ranah sosiologi kepada fenomena-fenomena lain yang terbuka bagi
analisis sosiologi.
Durkheim tidak mempelajari mengapa
seseorang melakukan bunuh diri. Karena itu adalah wilayah studi psikologi.
Perhatiannya adalah menjelaskan perbedaan angka bunuh diri dari beberapa
negara. Ia memiliki asusmsi mengenai fakta sosial yang melatarbelakangi
fenomena bunuh diri ini sekaligus kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh
diri yang lebih itnggi. Durkheim menggunakan dua cara yang saling berhubungan
untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Pertama dengan membandingkan suatu tipe
masyarakat atau kelompok dengan tipe lain.
Kedua, dengan melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah masyarakat
atau kelompok dalam rentang waktu tertentu. Jika ada perbedaan dalam angka
bunuh diri antara suatu kelompok dengan kelompok lain atau dari suatu periode
dengan periode yang lain, maka menurut Durkheim perbedaan tersebut adalah
akibat dari perbedaan faktor-faktor sosial atau arus sosial.
Dengan angka-angka statistik dari hasil penelitiannya
di beberapa negara, dia menunjukan penolakannya terhadap teori-teori lama
tentang bunuh diri tersebut. Kalau kemiskinan, menurut Durkheim, kenyataannya
orang-orang dari lapisan atas(kaya) justru lebih tinggi tingkat bunuh dirinya
dbanding dengan orang-orang dari lapisan bawah(miskin). Hal itu ditunjukannya
dengan mengatakan bahwa di negara-negara miskin di Eropa seperti Italia dan
Spanyol, justru memiliki angka bunuh diri yang lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara Eropa yang lebih makmur, seperti Prancis, Jerman,dan
negara-negara Skandinavia. Lalu Durkheim menambahkan bahwa, jika diselidiki,
sebenarnya ada pola yang lebih teratur dari pada sebab-sebab serta
penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh teori-teori terdahulu mengenai bunuh diri.
Angka bunuh diri yang ditunjukan dari suatu kelompok atau masyarakat bersumber
pada keadaan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, bunuh diri harus
dipelajari dengan menghubungkanya dengan struktur sosial dari masyarakat atau
negara yang bersangkutan, kata Durkheim. Data-data yang dikumpulkan oleh
Durkheim untuk menunjukkan bahwa di negara-negara tertentu terdapat angka bunuh
diri yang hamper tidak berbeda dari waktu ke waktu sebagai berikut:
1849
|
1850
|
1851
|
1852
|
1853
|
|
Prancis
|
3583
|
3596
|
3598
|
3678
|
3415
|
Rusia
|
1507
|
1736
|
1009
|
2073
|
1942
|
Saksen
|
328
|
390
|
402
|
530
|
431
|
Bavaria
|
189
|
250
|
260
|
226
|
269
|
Denmark
|
337
|
340
|
401
|
426
|
419
|
Demikian juga halnya dengan usaha
Durkheim untuk menolak bahwa bunuh diri diakibatkan karena sebab-sebab
psikologis, dia menunjukan angka-angka bunuh diri dari berbagai negara sebagai
berikut :
Negara
|
Jumlah orang sakit
jiwa
|
Urutan
|
Urutan
|
Angka bunuh diri
|
Norwegia
|
180
|
1
|
4
|
107
|
Skotlandia
|
164
|
2
|
8
|
34
|
Denmark
|
125
|
3
|
1
|
258
|
Hannover
|
105
|
4
|
9
|
13
|
Prancis
|
99
|
5
|
5
|
100
|
Belgia
|
93
|
6
|
7
|
50
|
Wurtenburg
|
92
|
7
|
3
|
108
|
Saksen
|
67
|
8
|
2
|
245
|
Bavaria
|
57
|
9
|
6
|
73
|
Table diatas menunjukkan bahwa
sebenarnya tidak ada pengaruh psikologis yang membawa masyakarat melakukan
bunuh diri. Norwegia menunjukan angka orang sakitjiwa terbanyak diantara 8
negara lain, tetapi menduduki peringkat 4 dalam angka bunuh diri. Denmark
menduduki peringkat 3 dalam angka sakit jiwa tetapi memiliki angka terbanyak
dalam angka bunuh diri. Dan seterusnya. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa
bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang
karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap
struktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Empat Jenis Bunuh Diri
Teori bunuh diri Durkheim bisa dilihat
lebih jelas jika kita mencermati hubungan jenis-jenis bunuh diri dengan dua
fakta sosial utamanya, yaitu Integrasi dan Regulasi. Integrasi condong berarti
kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat. Regulasi condong berarti tingkat paksaan eksternal yang dialami
individu. Menurut Durkheim, dua arus sosial tersebut adalah variabel yang
saling berkaitan dan angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun
dan yang lain meningkat. Jika integrasi meningkat, Durkheim mengelompokkanya
menjadi bunuh diri Altruis. Jika integrasi menurun, akibatnya dalah peningkatan
bunuh diri egoistis. Bunuh diri fatalistis berkaitan dengan regulasi yang
tinggi, sementara bunuh diri anomik adalah rendahnya regulasi.
Arus Sosial
|
Tingkat
|
Jenis Bunuh Diri
|
Integrasi
|
Tinggi
|
Altruistis
|
Rendah
|
Egoistis
|
|
Regulasi
|
Tinggi
|
Anomik
|
Rendah
|
Fatalistis
|
1. Bunuh
Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis
dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak
berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini
menimbulkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarkat dan masyarkat
bukan pula sebagai bagian dari individu. Lemahnya integrasi melahirkan suatu
arus sosial yang khas, dan arus tersebut memunculkan angka bunuh diri.
Misalnya, Durkheim berbicara tentang disintegrasi masyarakat yang melahirkan
“arus depresi dan kekecewaan”. Sebaliknya, kelompok yang memiliki integrasi
yang kuat akan mencegah terjadinya bunuh diri. Arus sosial yang melindungi dan
mengayomi yang lahir dari masyarkat akan mencegah terjadinya bunuh diri
egoistis, diantaranya, memberikan seseorang makna hidup dalam pengertian yang
lebih luas.
Agama
melindungi manusia dari keinginan untuk menganiaya dirinya sendiri…. Yang
membentuk agama adalah keberadaan sejumlah kepercayaan dan praktik tertentu
yang dianut dan dilakukan bersama oleh sekelompok orang beriman, yang diwarisi
turun temurun dan oleh karena itu bersifat mewajibkan. Makin banyak dan kuat
kerangka berpikir semacam ini, maka semakin kuat pulalah integrasi di dalam
kelompok keagamaan tersebut dan nilai-nilai yang mempertahankanya juga makin
besar.
(Durkheim, 1897/1951: 170)
Seperti yang telah dijelaskan Durkheim
diatas, Agama mencegah manusia untuk bunuh diri, akan tetapi tak semua agama
memberikan tingkat perlindungan yang sama terhadap bunuh diri. berikut adalah
table perbandingan angka bunuh diri yang berbeda dari negara-negara penganut
agama Katolik, Protestan, dan Katolik orthodox.
Negara Protestan
|
Negara Roma Katolik
|
Negara Katolik
Mayoritas
|
Negara Katolik
Ortodox
|
|
Laju bunuh diri
(1:1 juta orang)
|
190
|
90
|
58
|
40
|
Jawaban Durkheim atas perbedaan itu
adalah bahwa sebab dari perbedaan angka bunuh diri antara penganut agama Protestan dan Katolik adalah terletak di
dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh kedua agama tersebut kepada
penganutnya. Kebebasan yang lebih diberikan agama protestan dalam mempelajari
sendiri hakekat ajaran kitab suci, oleh karena itu kepercayaan bersama
orang-orang protestan menjadi berkurang. Setiap orang berhak memiliki tafsir
yang berbeda, sehingga dari situ integrasi yang dimiliki oleh masyarkat
protestan lebih rendah dari pada masyarkat katolik. Begitu pula sebaliknya
dengan masyarkat katolik. Akhirnya angka bunuh diri yang terdapat pada
masing-masing masyarakat penganut agama berbeda karena integrasi dalam agama
yang berbeda pula.
2. Bunuh
Diri Altruistis
Bunuh diri Altruistis terjadi ketika
integrasi sosial yang ada di dalam masyarakat menguat. Dapat dikatakan individu
terpaksa melakukan bunuh diri. Contoh dari bunuh diri ini adalah bunuh diri
harakiri dan sepukku dalam masyarakat jepang, keyakinan mati syahid oleh
seorang teroris, dan lain sebagainya. Secara umum, orang melakukan bunuh diri
altruistis karena mereka merasa itu adalah tugas mereka demi sebuah kebaikan
yang mereka yakini. Seorang individu dalam masyarakat yang integrasi sosialnya
tinggi akan merasa membawa aib bagi kesatuanya meski hanya karena kesalahan
sepele dan mereka bisa lebih memilih bunuh diri.
3. Bunuh
Diri Anomik
Bunuh diri ini terjadi saat kekuatan
regulasi masyarakat terganggu. Hal ini bisa muncul karena lemahnya kontrol
sosial yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pengatur nafsu mereka
yang tak terbatas. Anomi sendiri merupakan suatu keadaan tanpa norma yang
memungkinkan seseorang merasa tidak mempunyai norma dan aturan yang membimbing
mereka sehari-hari. Selanjutnya, mereka juga merasa tidak mempunyai apa-apa dan
tempat untuk ditinggali. Mereka yang mungkin merasakan situasi anomi adalah
tunawisma dan yatim piatu.
4. Bunuh
Diri Fatalistik
Bunuh diri ini disebabkan oleh situasi
yang merupakan kebalikan dari anomi. Tingkat regulasi yang sangat tinggi dapat
menyebabkan seorang melakukan bunuh diri. Terdapat kontrol yang berlebihan dari
suatu pihak yang kuat terhadap pihak yang lebih lemah dalam suatu struktur
masyarkat. Durkheim mengatakan keadaan itu saat seseorang merasa masa depanya
telah tertutup dan nafsu yang tertahan
oleh disiplin yang menindas. Contoh bunuh diri ini adalah seorang budak yang
lebih baik membunuh dirinya sendiri dari pada merasakan kontrol yang berlebihan
dalam hidupnya.
I.
Sosiologi
Agama
Di dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, Durkheim mengulas tuntas
mengenai sifat-sifat, sumber, bentuk-bentuk, akibat dan variasi agama dari
sudut pandangan sosiologistik. Agama menurut Durkheim adalah “ an unfied system
of belief and practices relative to sacred things”, dan selanjutnya ditambahkan
pula “that is to say, things set apart and forbidden – belief and practice wich
unite into one single moral community called curch all those who adhare to
them”. Asal mula agama menurut Durkheim adalah berasal dari masyarakat sendiri.
Setiap masyarakat selalu membedakan sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal
yang dianggap profane atau duniawiah. Durkheim tidak percaya tentang realitas
supranatural apapun yang menjadi sumber perasaan agama tersebut. Namun,
kebenaran ada suatu kekuatan moral yang superior yang member inspirasi kepada
pengikut, dan kekuatan itu adalah masyarakat, bukan Tuhan. Masyarakat merupakan
kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia melampaui kita, menuntut pengorbanan
kita, menekan sifat egois kita, dan mengisi kita dengan energi. Dan apa yang
menjadi pendapat dasar Durkheim adalah bahwa agama merupakan perwujudan dari
Collective Consciousness atau kesadaran kolektif.
Selain adanya yang sakral dan yang
profane terdapat tiga persyaratan lain yang dibutuhkan bagi keberadaan agama.
Pertama Kepercayaan, yang diartikan Durkheim sebagai representasi yang
mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik
dengan sesame hal sakral atau dengan hal yang profan. Kedua, ada ritual. Yaitu
aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap
terhadap hal-hal yang sakral itu. Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu
komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya.
Durkheim melakukan penelitian empirisnya
di Australia, tepatnya pada masyarakat suku Arunta. Dalam mempelajari agama
dalam budaya primitif pada suku Arunta tersebut, Durkheim percaya akan
mendapatkan pengetahuan tentang hakikat agama yang sebenarnya yang masih murni
belum ada pembaharuan oleh pemikir-pemikir agama seperti pada agama-agama
modern. Tetapi studi pada agama primitif tersebut akan ia gunakan pula untuk
mempelajari agama modern. Dari studinya itu Durkheim menjumpai apa yang disebut
totem, yaitu benda yang dianggap suci. Totem ini merupakan pusat upacara
keagamaan dari orang-orang primitif tersebut. Sebenarnya Totem yang dianggap
suci itu tidak lain adalah hanya sebuah simbol, yaitu seperti pada penjelasan
diatas adalah simbol dari Tuhan. Tuhan yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif
yang kemudian menjelma menjadi representasi kolektif yakni berupa
lambing-lambang yang berwujud ajaran-ajaran Totem. Durkheim berkesimpulan bahwa Tuhan itu
hanyalah sebuah idealism dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai
makhluk yang paling sempurna. Sehingga ia berkesimpulan bahwa agama merupakan
lambing kolektif atau representasi kolektif dari masyarkat dengan bentuk yang
ideal.
J.
Kritik
Terhadap Durkheim
Di lihat dari sisi fungsonalisme
dan positivisme, fokus Durkheim pada fakta-fakta sosial level makro merupakan
salah satu alasan kenapa karyanya memliki peran sentral dalam perkembangan
fungsionalisme struktural yang juga sama-sama berorientasi makro(fungsionalisme
sturktural). Namun apakah Durkheim adalah seorang fungsionalis atau tidak masih
bisa diperdebatkan, tergantung dari sudut pandang mana kita mendefinisikan
fungsionalisme.
Untuk masalah solidaritas sosial, dalam
satu tempat tidak mungkin berlaku dua jenis solidaritas. Solidaritas organik dan mekanik memiliki ciri
masing-masing. Selain itu mereka juga
memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Teori ini sebenarnya masih berlaku di
kehidupan di masyarakat. Namun cenderung
lebih condong ke solidaritas organik karena masyarakat sekarang sudah mulai
menuju modern bahkan sudah modern dan ini membuat mau tidak mau spesialisasi
itu terjadi dengan sendirinya.
BAB
III
Penutup
Kesimpulan
Emile
Durkheim adalah seorang sosiolog terkenal dari Perancis.Selama
hidupnya ia menulis banyak buku diantaranya adalah The
Division of Labor in Society, The Rules of Sociological Method, The Elementary
Form of Religious Life,dan Suicide.
Durkheim terkenal dengan teorinya yang disebut dengan
“fakta sosial”.Menurutnya,Fakta
sosial adalah cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berperilaku pada
diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa
fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pada
saat yang sama keberadaanya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Dalam bukunya The Division of Labor in Society,ia mengemukakan mengenai solidaritas sosial yang kemudian ia bagi menjadi
solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Durkheim
berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum
represif. Karena masyarakat seperti itu memiliki kesaman norma dan moralitas
bersama. Sebaliknya, masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum
restitutif. Seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan
mereka. Pelanggaran yang terjadi dilihat sebagai serangan terhadap individu
atau segmen lain, bukan terhadap sistem moral.
Dalam
bukunya yang kedua Suicide,dikemukakan dengan
jelas hubungan antara pengaruh integrasi sosial dan kecenderungan orang
melakukan bunuh diri. Durkheim ingin mengetahui pola atau
dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan
tindakan yang sangat individual.Ada empat jenis
bunuh diri menurut Durkheim yaitu Altruistis,Egoistis,Anomik dan Fatalistis.
Selain itu di dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, Durkheim
mengulas tuntas mengenai sifat-sifat, sumber, bentuk-bentuk, akibat dan variasi
agama dari sudut pandangan sosiologistik. Asal mula agama menurut Durkheim
adalah berasal dari masyarakat sendiri. Setiap masyarakat selalu membedakan
sesuatu yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawiah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ritzer,
George dan Douglas J. 2004. Goodman. Teori
Sosiologi. Nurhadi (penerjemah). Yogyakarta: KREASI WACANA
Siahaan,
Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah
dan Teori Sosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga
Osborne,
Richard dan Borin Van Loon. 1998. Mengenal
Sosiologi for Beginners. Siti Kusumawati A. (penerjemah). Bandung: Mizan
Paisal, Doktor. Biografi Emile Durkheim. http://doktorpaisal.wordpress.com/2009/11/23/biografi-emile-durkheim/. Diakses pada Jum’at 20 September 2013.
0 komentar:
Posting Komentar