BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan
segala bentuk interaksinya lahir di Eropa pada abad 18. Namun, sosiologi baru
memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya pada abad 19. Seiring
perkembangannya sosiologi selalu berusaha menyempurnakan keilmuan dalam bidang
kajiannya. Sehingga bermunculan berbagai tokoh beserta teori-teori atas dasar
realita sosial yang terjadi.
Pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut selain dilatar belakangi
dengan realita sosial, juga dilatar belakangi dengan kondisi sosio-historis dan
idealisme masing-masing tokoh. Nama awal sosiologi pada
mulanya diperkenalkan oleh Auguste Comte yang saat ini mendapat julukan sebagi Bapak Pendiri Sosiologi. Kehadiran Auguste Comte kemudian diikuti oleh beberapa tokoh sosiologi klasik antara lain Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Tonies, serta George Simmel.
mulanya diperkenalkan oleh Auguste Comte yang saat ini mendapat julukan sebagi Bapak Pendiri Sosiologi. Kehadiran Auguste Comte kemudian diikuti oleh beberapa tokoh sosiologi klasik antara lain Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Tonies, serta George Simmel.
Setiap tokoh sosiologi klasik tersebut memiliki teori unggulan
masing-masing dengan sudut pandang yang terkadang berbeda. Ada yang
mengemukakan teori baru namun ada pula yang menyempurnakan teori-teori yang
telah ada sebelumnya. Salah satunya yaitu Max Weber yang terkenal dengan suatu
metode dengan nama Verstehende. Dari realita tersebut kamu bermaksud
untuk membahas lebih dalam mengenai Max Weber dan metode Verstehende-nya
yang akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi karir
intelektual Max Weber?
2.
Bagaimana warisan
idealisme-historisisme mempengaruhi pemikiran sosiologi Weber?
3.
Bagaimana sosiologi
interpretatif (verstehen) dan aplikasinya dalam analisis sosiologi?
4.
Bagaimana kritik terhadap
teori Weber?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengerti dan memahami bagaimana
biografi karir intelektual Max Weber.
2. Untuk mengerti dan memahami bagaimana warisan
idealisme-historisisme mempengaruhi pemikiran sosiologi Weber.
3. Untuk mengerti dan memahami bagaimana interpretatif (verstehen)
dan aplikasinya dalam analisis sosiologi.
4. Untuk mengerti dan memahami kritik terhadap teori Weber.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Max Weber
Max
Weber lahir di Erfrut, Thuringia, Jerman 21 April 1864, tetapi dibesarkan
di Berlin dimana keluarganya pindah ketika dia berumur 5 tahun.
Keluarganya dari kelas menengah. Ayahnya adalah seorang hakim di
Erfrurt dan ketika di Berlin menjadi seorang penasihat di pemerintahan kota dan
kemudian menjadi anggota Prussian House of Deputies dan Jerman Reichstag. Ibu
Weber , Helene Fallenstien Weber, memiliki watak yang berbeda. Keyakinan
agamanya serta perasaan Calvinis jauh lebih besar daripada suaminya. Perbedaan
antara orang tuanya tersebut membawa dampak besar pada orientasi intelektual
dan perkembangan psikologisnya.
Ketika masih
kecil, Weber adalah seorang pemalu dan sering sakit, tetapi dia sangat jenius.
Dia membaca dan menulis sesuatu secara ilmiah. Pada usia 18 tahun, Max Weber
mulai mempelajari hukum di Universitas Heidelberg. Weber meninggalkan
Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dimana dia menjalin hubungan erat
dengan pamannya bernama Herman Baumgarten dan tantenya bernama Ida. Keluarga
Baumgarten memperlakukan Weber dengan suatu sikap hormat intelektual,
kehangatan emosional, dan Weber sangat terpengaruhi mereka, sebagai akibatnya
Weber lebih banyak mengikuti ibunya. Perhatian Weber dalam bidang teori
mengenai pengaruh ide-ide dan kepentingan dalam mengendalikan
prilaku manusia tergambar dalam keluaganya. Ayahnya memberikan prioritas pada
kepentingan politik dan ekonomi, sedangkan ibunya dan keluarga Baumgarten
memberikan prioritas kepada ideal-ideal etika protestantisme. Pada
tahun 1884 kembali ke Berlin dan pada tahun 1889 dia menyelesaikan tesis
doktornya. Dia menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas
Berlin.
Weber mulai membangkitkan seluruh waktunya untuk kehidupan akademisnya
ketika dia menerima kedudukan sebagai professor ekonomi di Universitas Freiburg
tahun 1894. Pada tahun 1896, giatnya dalam bekerja ini membawanya pada posisi
sebagai profesor ekonomi di Heidelberg.
Pada tahun 1897, ketika karier akademik berkembang, ayahnya meninggal dunia
setelah bertengkar hebat dan diusir oleh Max dari rumah. Hal ini membuat Weber
merasa bersalah sehingga kesehatan fisik dan psikologinya terganggu selama
bertahun–tahun. Tahun1899 dia harus dirawat dirumah sakit untuk
beberapa minggu. Pada tahun 1903 tidak sampai tahun 1904, ketika ia
menyampaikan kuliah perdananya dalam waktu enam setengah tahun, Weber mampu
kembali aktif kedalam kehidupan akademik.
Dalam kehidupan Weber, dan lebih penting lagi dalam karya-karyanya,
terdapat ketegangan antara pikiran birokratis, sebagaimana ditampilkan oleh
sang ayah, dengan religiosistas ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu
merasuk ke dalam karya Weber yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit
of Capitalism. Weber meninggal dunia pada tanggal 14 Juni 1920 pada saat
dia mengerjakan karya terpentingnya Economy and Society.[1]
- Idealisme – Historisme Jerman terhadap Pemikiran Weber
Pemikiran Weber tentang
sosiologi terutama dibangun oleh serangkaian debat intelektual (methodenstreit)
yang berlangsung di Jerman pada masanya. Yang terpenting dari perdebatan
tersebut adalah masalah hubungan sejarah dengan ilmu pengetahuan. Perdebatan
ini berlangsung antara kubu posithivis yang memandang sejarah tesusun beradasarkan
hukum – hukum umum (disebut jga pandangan nomotetik dimana mereka berfikir
bahwa sejarah bisa seperti ilmu alam) dengan kubu subjektivis yang menciutkan
sejarah menjadi sekadar tindakan dan peristiwa idisinkratis (disebut juga
pandangan idiografis).
Weber menolak kedua kutub
ekstrim tersebut dan berusaha mengembangkan cara tersendiri untuk menangani
sosiologi historis. Menurut Weber, sejarah terdiri dari sejumlah peristiwa
empiris unik ; tidak mungkin ada generalisasi pada level empiris. Dengan
demikian sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari jagat konseptual yang
mereka bangun. Konsep ini tidak pernah sepenuhnya mampu memahami dunia empiris,
namun dapat digunakan sebagai perangkat heuristik untuk memperoleh pemahaman
yang lebih baik atas realitas. Dengan konsep-konsep ini, sosiolog dapat
mengembangkan generalisasi, namun generalisai-generalisasi tersebut bukanlah sejarah dan tidak boleh dicampuradukan dengan
realitas empiris. Meskipun jelas mendukung generalisasi, Ia pun menolak
sejarawan yang berusaha mereduksi sejarah menjadi serangkaian hukum sederhana.
Ketika menolak pandangan
para ilmuan Jerman yang saling bertentangan menyangkut soal sejarah, Weber
menawarkan perspektifnya sendiri, Yang merupakan gabungan dari dua orientasi
tadi. Weber merasa bahwa sejarah yaitu sosiologi historis, membahas
individualitas dan generalitas, penyatuan dilakukan melalui perkembangan dan
pemanfaatan konsep umum yang nanti akan disebut dengan “tipe-tipe ideal” dalam
studi terhadap individu, peristiwa, atau masyarakat tertentu. Konsep umum ini
digunakan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan individualitas pada setiap
perkembangan, karakteristik yang membuat orang melahirkan kesimpulan dengan
cara yang berbeda dari orang lain. Setelah dilakukan, kemudian orang dapat
menetukan sebab-sebab yang mengarah pada perbedaan-perbedaan ini. Dalam
melakukan analisis kausal ini, Weber menolak, paling tidak pada level sadar,
gagasan untuk mencari agen kausal tunggal sepanjang perjalanan sejarah. Ia
justru menggunakan perangkat konseptualnya untuk menilai beragam faktor dalam
kasus historis menurut signifikansi kausalnya.
Pandangan Weber tentang
sosiologi historis dibangun oleh ketersediaan, dan komitmennya pada studi
tentang data historis. Singkat kata, Weber percaya sejarah terdiri dari
bentangan fenomena spesifik yang tiada habisnya. Untuk mempelajari fenomena
ini, perlu dikembangkan beragam konsep yang didesain agar berguna bagi
penelitian tentang dunia nyata. Sebagai aturan umum, meskipun Weber tidak
menganutnya secara kaku dan kebanyakan sejarawan dan sosolog pun tidak, tugas
sosiologi adalah mengembangkan konsep-konsep ini, yang digunakan sejarah dalam
analisis kausal tentang fenomena historis spesifik. Dalam hal ini, Weber
berusaha untuk mengkombinasikan yang spesifik dan yang umum dalam upayanya
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat kehidupan sosial
yang begitu kompleks.
C.
Sosiologi Interpretatif
(Verstehen) dan Aplikasinya dalam Analisis Sosiologi
Weber merasa bahwa sosiolog memiliki
kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan
sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat
memperoleh pemahaman serupa tentang prilaku atom atau ikatan kimia. Kontroversi
sekitar konsep verstehen dan beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber,
muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Ia cenderung
gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar mengulangi gagasan pada zaman terkenal
dikalangan sejarawan jerman. Terlebih lagi weber tidak terlalu memikirkan
refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen
sering ditemukan dikalangan sejarawan jerman pada zamannya dan berasal dari
bidang yang dikenal dengan hermeneutika.[2] Weber bersama yang lain salah satunya dengan
Wilhelm Dilthey berusaha memperluas setiap gagasan dari pemahaman teks ke
pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah
manusia.
Beberapa orang berpendapat
bahwa Verstehen melibatkan dua pendekatan. P. A.
Monch (1975), mengatakan bahwa untuk memahami tindakan sepenuhnya kita harus
(1) mengindentifikasikan pemahaman tindakan sebagaimana yang dikenhendaki oleh
sang aktor dan (2) mengenali konteks yang melingkupi dan yang digunakan untuk
memahaminya.
Verstehen adalah alat pemahaman bagi
analisis level makro, karena Weber memfokuskan pandangannya pada konteks Budaya
dan Sosial – kultural. Dengan kata lain verstehen merupakan cara bagaimana kita sebagai seorang peneliti
harus memahami (understanding) setiap makna (meaning) yang dimiliki atau
dikeluarkan oleh informan. Apa yang dikemukakan oleh Weber lantas menjadi dasar
bagi salah satu paradigma besar yang berada di level mikro, yakni
interaksionisme simbolik yang menekankan pada pemaknaan atas simbolisasi oleh
orang lain.
Kausalitas
Kausalitas itu sendiri
adalah kemungkinan suatu peristiwa diikuti oleh peristiwa yang lain, menurut
Weber (1921/1968). Ketika sejarah dan sosiologi tidak dapat dipisahkan secara
jelas dalam karya Subtantif Weber. Weber berusaha mengkombinasikan pendekatan Nomotetis
dan idiografis. Menurutnya, peneliti tidak hanya mencari keajekan historis,
pengulangan, dan keparalelan tetapi sekaligus
melihat alasan, makna, perubahan-perubahan historis yang terjadi.
Seperti dalam sosiologi
subtantifnya, Weber selalu menyelaraskan hubungan anatara ekonomi, masyarakat,
politik, organisasi, stratifikasi sosial, agama dan lain sebagainya. Sebenarnya
Ia hanya ingin mengatakan bahwa etika protestan adalah salah satu dari faktor
kausal munculnya semangat kapitalisme modern.
Pemikiran Weber tentang
Kausalitas terkait erat dengan upayanya memahami konflik anatara pengetahuan
nomotetis dengan pengatahuan Idiografis. Penganut pengetahuan nomotetis akan
berargumen bahwa terdapat hubungan pasti anatar fenomena sosial. Sedangkan penganut
pengetahuan idiografis cenderung hanya melihat hubungan acak anatar
entitas-entitas tersebut. Kausalitas adalah posisi tengah yang diambil oleh
Weber dengan cara membuat pertanyaan Probabilitastik tentang hubungan antar
fenomena sosial: jadi, apabila x terjadi, maka ada kemunginan y akan terjadi.
Tipe – Tipe Ideal
Seperti yang dikatak Weber
dalam tipe – tepi ideal adalah “Fungsinya adalah alat pembanding dengan
realitas empiris untuk menentukan ketidaksesuaian atau kemiripan, untuk
menggambarkan dengan konsep yang paling dapat dipahami secara tepat, untuk
menentukan dan menjelaskannya secara kasual”. Ilmuan sosial mengkontruksikan
tipe – tipe ideal birokrasi, kemudian tipe ideal tersebut dibandingkan dengan
birokrasi aktual. Selanjtunya ilmuwan sosial mencari sebab-sebab
ketidaksesuaian dari kasus rill dengan tipe ideal yang ditetapkan.
Tipe – tipe ideal harus
dikembangkan secara keseluruhan. Karena setiap masyarakt selalu mengalami
perubahan (dinamis) tidak serta merta selalu statis. Begitu juga dengan minat
ilmuwan, perlu dikembangkan tipologi – tipologi baru agar sesuai dengan
realitas yang terus bergerak (berubah). Ini sejalan dengan pandangan Weber
bahwa tidak mungkin ada konsep yang abadi dan tetap dalam ilmu sosial.
Nilai
Perspektif umum terhadap
pandangan Weber adalah bahwa imuwan sosial tidak boleh membiarkan nilai
pribadinya mempengaruhi penelitian ilmiah. Seperti dalam karyany tentang nilai
jauh lebih rumit dan tidak boleh direduksi menjadi sekedar pandangan bahwa
nilai harus dijaukan dari sosiologi.[3]
Nilai dan Ajaran
Weber sangat tidak setuju
apabila seorang guru mengapresiasikan nilai pribadi dalam pembelajaran
akademik. Menurutnya, ruang kuliah harus dibedakan dari area diskusi publik.
Ada perbedaan terpenting antara pidato umum dengan kuliah akademik yang
terletak pada audiensnya. Pidato umum adalah kerumunan orang yang menyaksikan
pembicaraan dimuka umum dan audiensnya dapat pergi kapan saja yang dia mau.
Sedangkan kuliah akademik, tidak bisa memilih kecuali medengarkan profesor yang
sarat nilai. Ada ambiguitas posisi Weber tentang kebebasan nilai. Akademik
harus mengekspresika fakta bukan nilai pribadi, didalam kelas. Weber
berpendapat, ia percaya bahwa mungkin saja memisahkan nilai dan fakta.
Sedangkan, Marx tidak setuju karena menurutnya pandangannya tentang nilai dan
fakta saling terkait secra dialektis.
Nilai dan Penelitian
Pendapat Weber tentang nilai dan
penelitian sangat membingungkan. “Peneliti dan guru mutlak harus memisahkan
posisi fakta empiris dari penelitian pribadinya, misalnya, penilaiannya bahwa
fakta-fakta tertentu memuaskan atau tidak memuaskan.” Yang dimaksud Weber, kita
harus menjalankan prosedur reguler penelitian ilmiah, seperti pengamatan secara
akurat dan perbandingan secara sistematis.
Pandangan Weber terrhadap sosiologi pada
masa itu bertentangn dengan organisme yang berkembang pada waktu itu.
Contohnya, Weber berkata “Saya menjadi sosiolog yang akan mengakhiri konsep-konsep
kolektivitas. Dengan kata lain, sosiologi hanya dapat dipraktikkan
mulai dari satu atau beberapa tindakan dari individu, Weber berarti menggunakan
metode “Individualis”. Walaupun begitu, Weber terpaksa mengakui bahwa mustahil
menghapus secara keseluruhan gagasan-gagasan kolektif dari sosiologi.[4]
Menurut Udehn, Weber menggunakan
metodologi individu dan Subjektif. Pada Metodologi individu, Weber tertarik
pada apa yang dilakukan individu dan mengapa mereka melakukannya (motif
subjektif mereka). Pada sosiologi subtantifnya, Weber lebih memusatkan perhatiannya
pada struktur skala-besar seperti pada birokrasi atau kapitalisme. Ia tidak
memberikan perhatiannya secara langsung yang dilakuakn individu dan mengapa
individu tersebut melakukannya. Struktur tersebut tidak dapat dipandang sebelah
mata, tindakan individu tersebut tidak berdasarkan motifnya sendiri melainkan
peraturan yang ditentukan dalam struktur tersebut. Ada sedikit kontradiksi
dalam karya-karya Weber.
D.
Kritik terhadap Teori
Weber
Kritik terkait dengan metode verstehen Weber.
Weber terperangkap diantara
dua persoalan terkait dengan verstehen ini. Di satu sisi, verstehen tidak bisa
semata-mata berarti intuisi subjektif karena jika demikian, maka verstehen
tidak akan ilmiah. Di sisi lain, sosiolog tidak dapat begitu saja menyatakan
makna “objektif” fenomena sosial. Weber menegaskan bahwa metode ini terletak
diantara dua pilihan ini, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan bagaimana
itu bisa terjadi.
Kelemahan-kelemahan yang
terdapat dalam metodologinya tidak selalu jelas jika kita membaca analisis
Weber hanya dengan berdasarkan interpretasi-interpretasinya sendiri, namun akan
menjadi sangat jelas kalau kita mencoba menerapkan metodenya itu pada
penelitian kita sendiri atau, lebih dari itu ketika kita mencoba mengajarkan
verstehen kepada orang lain. Jelas sekali kalau metode ini melibatkan
penelitian sistemis dan ketat, namun anehnya penelitian tentang tilikan-tilikan
Weber yang mencerahkan justru membuat kita makin tidak paham. Inilah yang
mendorong sebagian kalangan untuk menempatkan verstehen pada suatu cara kerja
penemuan yang bersifat heuristik yang mendahului kerja-kerja ilmiah sosiologi
yang sesungguhnya. Sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa verstehen harus
dilihat sebagai sebuah proses sosial juga dan bahwa pemahaman kita tentang
orang lain selalu bermula dari sebuah dialog.
BAB III
SIMPULAN
- Simpulan
Pemikiran
Weber tentang sosiologi terutama dibangun oleh serangkaian debat intelektual
(methodenstreit) yang berlangsung di Jerman pada masanya. Yaitu masalah
hubungan sejarah dengan ilmu pengetahuan antara kubu posithivis dengan kubu
subjektivis. Weber menolak kedua kutub
ekstrim tersebut dan menangani dengan sosiologi historis. Sosiolog harus memisahkan
dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah
sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun dapat digunakan sebagai
perangkat heuristik untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik atas realitas.
Weber berusaha untuk mengkombinasikan yang spesifik dan yang umum dalam
upayanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat kehidupan
sosial yang begitu kompleks.
Weber
merasa bahwa sosiolog memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan
tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial,
sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang prilaku
atom atau ikatan kimia. Kontroversi konsep verstehen, dan beberapa masalah
dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran
metodologis Weber. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa
bahwa ia sekedar mengulangi gagasan pada
zaman terkenal dikalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi weber tidak terlalu
memikirkan refleksi metodologis. Pemikiran Weber tentang verstehen sering
ditemukan dikalangan sejarawan jerman pada zamannya dan berasal dari bidang
yang dikenal dengan hermeneutika. Verstehen adalah alat pemahaman bagi analisis
level makro, karena Weber memfokuskan pandangannya pada konteks Budaya dan
Sosial – kultural.
Kritik
terkait dengan metode verstehen Weber. Bahwa Weber terperangkap diantara dua
persoalan terkait dengan verstehen ini. Weber menegaskan bahwa metode ini
terletak diantara dua pilihan ini, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan
bagaimana itu bisa terjadi. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam
metodologinya tidak selalu jelas jika kita membaca analisis Weber hanya dengan
berdasarkan interpretasi-interpretasinya sendiri, namun akan menjadi sangat
jelas kalau kita mencoba menerapkan metodenya itu pada penelitian kita sendiri
atau, lebih dari itu ketika kita mencoba mengajarkan verstehen kepada orang
lain. Jelas sekali kalau metode ini melibatkan penelitian sistemis dan ketat,
namun anehnya penelitian tentang tilikan-tilikan Weber yang mencerahkan justru
membuat kita makin tidak paham. Inilah yang mendorong sebagian kalangan untuk
menempatkan verstehen pada suatu cara kerja penemuan yang bersifat heuristik
yang mendahului kerja-kerja ilmiah sosiologi yang sesungguhnya. Sementara
sebagian lainnya menyatakan bahwa verstehen harus dilihat sebagai sebuah proses
sosial juga dan bahwa pemahaman kita tentang orang lain selalu bermula dari
sebuah dialog.
Daftar Pustaka
Ritzer, George dan Douglas
J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Siahaan.
Hotman M. 1986. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
1Ritzer, George dan Douglas
J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hlm:
126-131
[2] Hermeneutika
adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang
dipublikasikan.
[3]
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta:
Kreasi Wacana. Hlm: 132
[4] Sebenarnya, tipe-tipe ideal Weber adalah
konsep-konsep kolektif.
0 komentar:
Posting Komentar