Senin, 02 Desember 2013

Makalah Teori Sosiologi Klasik : Max Weber 1



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan segala bentuk interaksinya lahir di Eropa pada abad 18. Namun, sosiologi baru memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya pada abad 19. Seiring perkembangannya sosiologi selalu berusaha menyempurnakan keilmuan dalam bidang kajiannya. Sehingga bermunculan berbagai tokoh beserta teori-teori atas dasar realita sosial yang terjadi.
Pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut selain dilatar belakangi dengan realita sosial, juga dilatar belakangi dengan kondisi sosio-historis dan idealisme masing-masing tokoh. Nama awal sosiologi pada
mulanya diperkenalkan oleh Auguste Comte yang saat ini mendapat julukan sebagi Bapak Pendiri Sosiologi. Kehadiran Auguste Comte kemudian diikuti oleh beberapa tokoh sosiologi klasik antara lain Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Ferdinand Tonies, serta George Simmel.
Setiap tokoh sosiologi klasik tersebut memiliki teori unggulan masing-masing dengan sudut pandang yang terkadang berbeda. Ada yang mengemukakan teori baru namun ada pula yang menyempurnakan teori-teori yang telah ada sebelumnya. Salah satunya yaitu Max Weber yang terkenal dengan suatu metode dengan nama Verstehende. Dari realita tersebut kamu bermaksud untuk membahas lebih dalam mengenai Max Weber dan metode Verstehende-nya yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.         Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi karir intelektual Max Weber?
2.      Bagaimana warisan idealisme-historisisme mempengaruhi pemikiran sosiologi Weber?

3.      Bagaimana sosiologi interpretatif (verstehen) dan aplikasinya dalam analisis sosiologi?
4.      Bagaimana kritik terhadap teori Weber?

C.                  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengerti dan memahami bagaimana biografi karir intelektual Max Weber.
2.      Untuk mengerti dan memahami bagaimana warisan idealisme-historisisme mempengaruhi pemikiran sosiologi Weber.
3.      Untuk mengerti dan memahami bagaimana interpretatif (verstehen) dan aplikasinya dalam analisis sosiologi.
4.      Untuk mengerti dan memahami kritik terhadap teori Weber.















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Max Weber
Max Weber lahir di Erfrut, Thuringia, Jerman 21 April 1864, tetapi dibesarkan di Berlin dimana keluarganya pindah ketika dia berumur 5 tahun. Keluarganya  dari kelas menengah. Ayahnya adalah seorang hakim di Erfrurt dan ketika di Berlin menjadi seorang penasihat di pemerintahan kota dan kemudian menjadi anggota Prussian House of Deputies dan Jerman Reichstag. Ibu Weber , Helene Fallenstien Weber, memiliki watak yang berbeda. Keyakinan agamanya serta perasaan Calvinis jauh lebih besar daripada suaminya. Perbedaan antara orang tuanya tersebut membawa dampak besar pada orientasi intelektual dan perkembangan psikologisnya.
Ketika masih kecil, Weber adalah seorang pemalu dan sering sakit, tetapi dia sangat jenius. Dia membaca dan menulis sesuatu secara ilmiah. Pada usia 18 tahun, Max Weber mulai mempelajari hukum di Universitas Heidelberg. Weber meninggalkan Heidelberg untuk menjalani wajib militer, dimana dia menjalin hubungan erat dengan pamannya bernama Herman Baumgarten dan tantenya bernama Ida. Keluarga Baumgarten memperlakukan Weber dengan suatu sikap hormat intelektual, kehangatan emosional, dan Weber sangat terpengaruhi mereka, sebagai akibatnya Weber lebih banyak mengikuti ibunya. Perhatian Weber dalam bidang teori mengenai pengaruh ide-ide dan kepentingan  dalam mengendalikan prilaku manusia tergambar dalam keluaganya. Ayahnya memberikan prioritas pada kepentingan politik dan ekonomi, sedangkan ibunya dan keluarga Baumgarten memberikan prioritas kepada ideal-ideal etika protestantisme.  Pada tahun 1884 kembali ke Berlin dan pada tahun 1889 dia menyelesaikan tesis doktornya. Dia  menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin.
Weber mulai membangkitkan seluruh waktunya untuk kehidupan akademisnya ketika dia menerima kedudukan sebagai professor ekonomi di Universitas Freiburg tahun 1894. Pada tahun 1896, giatnya dalam bekerja ini membawanya pada posisi sebagai profesor ekonomi di Heidelberg.
Pada tahun 1897, ketika karier akademik berkembang, ayahnya meninggal dunia setelah bertengkar hebat dan diusir oleh Max dari rumah. Hal ini membuat Weber merasa bersalah sehingga kesehatan fisik dan psikologinya terganggu selama bertahun–tahun.  Tahun1899 dia harus dirawat dirumah sakit untuk beberapa minggu. Pada tahun 1903 tidak sampai tahun 1904, ketika ia menyampaikan kuliah perdananya dalam waktu enam setengah tahun, Weber mampu kembali aktif kedalam kehidupan akademik.
Dalam kehidupan Weber, dan lebih penting lagi dalam karya-karyanya, terdapat ketegangan antara pikiran birokratis, sebagaimana ditampilkan oleh sang ayah, dengan religiosistas ibunya. Ketegangan yang tak terpecahkan itu merasuk ke dalam karya Weber yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Weber meninggal dunia pada tanggal 14 Juni 1920 pada saat dia mengerjakan karya terpentingnya Economy and Society.[1]

  1. Idealisme – Historisme Jerman terhadap Pemikiran Weber
Pemikiran Weber tentang sosiologi terutama dibangun oleh serangkaian debat intelektual (methodenstreit) yang berlangsung di Jerman pada masanya. Yang terpenting dari perdebatan tersebut adalah masalah hubungan sejarah dengan ilmu pengetahuan. Perdebatan ini berlangsung antara kubu posithivis yang memandang sejarah tesusun beradasarkan hukum – hukum umum (disebut jga pandangan nomotetik dimana mereka berfikir bahwa sejarah bisa seperti ilmu alam) dengan kubu subjektivis yang menciutkan sejarah menjadi sekadar tindakan dan peristiwa idisinkratis (disebut juga pandangan idiografis). 
Weber menolak kedua kutub ekstrim tersebut dan berusaha mengembangkan cara tersendiri untuk menangani sosiologi historis. Menurut Weber, sejarah terdiri dari sejumlah peristiwa empiris unik ; tidak mungkin ada generalisasi pada level empiris. Dengan demikian sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun dapat digunakan sebagai perangkat heuristik untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik atas realitas. Dengan konsep-konsep ini, sosiolog dapat mengembangkan generalisasi, namun generalisai-generalisasi tersebut bukanlah  sejarah dan tidak boleh dicampuradukan dengan realitas empiris. Meskipun jelas mendukung generalisasi, Ia pun menolak sejarawan yang berusaha mereduksi sejarah menjadi serangkaian hukum sederhana.
Ketika menolak pandangan para ilmuan Jerman yang saling bertentangan menyangkut soal sejarah, Weber menawarkan perspektifnya sendiri, Yang merupakan gabungan dari dua orientasi tadi. Weber merasa bahwa sejarah yaitu sosiologi historis, membahas individualitas dan generalitas, penyatuan dilakukan melalui perkembangan dan pemanfaatan konsep umum yang nanti akan disebut dengan “tipe-tipe ideal” dalam studi terhadap individu, peristiwa, atau masyarakat tertentu. Konsep umum ini digunakan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan individualitas pada setiap perkembangan, karakteristik yang membuat orang melahirkan kesimpulan dengan cara yang berbeda dari orang lain. Setelah dilakukan, kemudian orang dapat menetukan sebab-sebab yang mengarah pada perbedaan-perbedaan ini. Dalam melakukan analisis kausal ini, Weber menolak, paling tidak pada level sadar, gagasan untuk mencari agen kausal tunggal sepanjang perjalanan sejarah. Ia justru menggunakan perangkat konseptualnya untuk menilai beragam faktor dalam kasus historis menurut signifikansi kausalnya.
Pandangan Weber tentang sosiologi historis dibangun oleh ketersediaan, dan komitmennya pada studi tentang data historis. Singkat kata, Weber percaya sejarah terdiri dari bentangan fenomena spesifik yang tiada habisnya. Untuk mempelajari fenomena ini, perlu dikembangkan beragam konsep yang didesain agar berguna bagi penelitian tentang dunia nyata. Sebagai aturan umum, meskipun Weber tidak menganutnya secara kaku dan kebanyakan sejarawan dan sosolog pun tidak, tugas sosiologi adalah mengembangkan konsep-konsep ini, yang digunakan sejarah dalam analisis kausal tentang fenomena historis spesifik. Dalam hal ini, Weber berusaha untuk mengkombinasikan yang spesifik dan yang umum dalam upayanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat kehidupan sosial yang begitu kompleks.
C.    Sosiologi Interpretatif (Verstehen) dan Aplikasinya dalam Analisis Sosiologi
Weber merasa bahwa sosiolog memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang prilaku atom atau ikatan kimia. Kontroversi sekitar konsep verstehen dan beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar  mengulangi gagasan pada zaman terkenal dikalangan sejarawan jerman. Terlebih lagi weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis.
Pemikiran Weber tentang verstehen sering ditemukan dikalangan sejarawan jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika.[2]  Weber bersama yang lain salah satunya dengan Wilhelm Dilthey berusaha memperluas setiap gagasan dari pemahaman teks ke pemahaman kehidupan sosial : memahami aktor, interaksi, dan seluruh sejarah manusia.
Beberapa orang berpendapat bahwa  Verstehen melibatkan dua pendekatan. P. A. Monch (1975), mengatakan bahwa untuk memahami tindakan sepenuhnya kita harus (1) mengindentifikasikan pemahaman tindakan sebagaimana yang dikenhendaki oleh sang aktor dan (2) mengenali konteks yang melingkupi dan yang digunakan untuk memahaminya.
Verstehen adalah alat pemahaman bagi analisis level makro, karena Weber memfokuskan pandangannya pada konteks Budaya dan Sosial – kultural. Dengan kata lain verstehen merupakan cara bagaimana kita sebagai seorang peneliti harus memahami (understanding) setiap makna (meaning) yang dimiliki atau dikeluarkan oleh informan. Apa yang dikemukakan oleh Weber lantas menjadi dasar bagi salah satu paradigma besar yang berada di level mikro, yakni interaksionisme simbolik yang menekankan pada pemaknaan atas simbolisasi oleh orang lain.
Kausalitas
Kausalitas itu sendiri adalah kemungkinan suatu peristiwa diikuti oleh peristiwa yang lain, menurut Weber (1921/1968). Ketika sejarah dan sosiologi tidak dapat dipisahkan secara jelas dalam karya Subtantif Weber. Weber berusaha mengkombinasikan pendekatan Nomotetis dan idiografis. Menurutnya, peneliti tidak hanya mencari keajekan historis, pengulangan, dan keparalelan tetapi sekaligus  melihat alasan, makna, perubahan-perubahan historis yang terjadi.
Seperti dalam sosiologi subtantifnya, Weber selalu menyelaraskan hubungan anatara ekonomi, masyarakat, politik, organisasi, stratifikasi sosial, agama dan lain sebagainya. Sebenarnya Ia hanya ingin mengatakan bahwa etika protestan adalah salah satu dari faktor kausal munculnya semangat kapitalisme modern.
Pemikiran Weber tentang Kausalitas terkait erat dengan upayanya memahami konflik anatara pengetahuan nomotetis dengan pengatahuan Idiografis. Penganut pengetahuan nomotetis akan berargumen bahwa terdapat hubungan pasti anatar fenomena sosial. Sedangkan penganut pengetahuan idiografis cenderung hanya melihat hubungan acak anatar entitas-entitas tersebut. Kausalitas adalah posisi tengah yang diambil oleh Weber dengan cara membuat pertanyaan Probabilitastik tentang hubungan antar fenomena sosial: jadi, apabila x terjadi, maka ada kemunginan y akan terjadi.
Tipe – Tipe Ideal
Seperti yang dikatak Weber dalam tipe – tepi ideal adalah “Fungsinya adalah alat pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidaksesuaian atau kemiripan, untuk menggambarkan dengan konsep yang paling dapat dipahami secara tepat, untuk menentukan dan menjelaskannya secara kasual”. Ilmuan sosial mengkontruksikan tipe – tipe ideal birokrasi, kemudian tipe ideal tersebut dibandingkan dengan birokrasi aktual. Selanjtunya ilmuwan sosial mencari sebab-sebab ketidaksesuaian dari kasus rill dengan tipe ideal yang ditetapkan.
Tipe – tipe ideal harus dikembangkan secara keseluruhan. Karena setiap masyarakt selalu mengalami perubahan (dinamis) tidak serta merta selalu statis. Begitu juga dengan minat ilmuwan, perlu dikembangkan tipologi – tipologi baru agar sesuai dengan realitas yang terus bergerak (berubah). Ini sejalan dengan pandangan Weber bahwa tidak mungkin ada konsep yang abadi dan tetap dalam ilmu sosial.
Nilai
Perspektif umum terhadap pandangan Weber adalah bahwa imuwan sosial tidak boleh membiarkan nilai pribadinya mempengaruhi penelitian ilmiah. Seperti dalam karyany tentang nilai jauh lebih rumit dan tidak boleh direduksi menjadi sekedar pandangan bahwa nilai harus dijaukan dari sosiologi.[3]
Nilai dan Ajaran
Weber sangat tidak setuju apabila seorang guru mengapresiasikan nilai pribadi dalam pembelajaran akademik. Menurutnya, ruang kuliah harus dibedakan dari area diskusi publik. Ada perbedaan terpenting antara pidato umum dengan kuliah akademik yang terletak pada audiensnya. Pidato umum adalah kerumunan orang yang menyaksikan pembicaraan dimuka umum dan audiensnya dapat pergi kapan saja yang dia mau. Sedangkan kuliah akademik, tidak bisa memilih kecuali medengarkan profesor yang sarat nilai. Ada ambiguitas posisi Weber tentang kebebasan nilai. Akademik harus mengekspresika fakta bukan nilai pribadi, didalam kelas. Weber berpendapat, ia percaya bahwa mungkin saja memisahkan nilai dan fakta. Sedangkan, Marx tidak setuju karena menurutnya pandangannya tentang nilai dan fakta saling terkait secra dialektis.

Nilai dan Penelitian
Pendapat Weber tentang nilai dan penelitian sangat membingungkan. “Peneliti dan guru mutlak harus memisahkan posisi fakta empiris dari penelitian pribadinya, misalnya, penilaiannya bahwa fakta-fakta tertentu memuaskan atau tidak memuaskan.” Yang dimaksud Weber, kita harus menjalankan prosedur reguler penelitian ilmiah, seperti pengamatan secara akurat dan perbandingan secara sistematis.
Pandangan Weber terrhadap sosiologi pada masa itu bertentangn dengan organisme yang berkembang pada waktu itu. Contohnya, Weber berkata “Saya menjadi sosiolog yang akan mengakhiri konsep-konsep kolektivitas. Dengan kata lain, sosiologi hanya dapat dipraktikkan mulai dari satu atau beberapa tindakan dari individu, Weber berarti menggunakan metode “Individualis”. Walaupun begitu, Weber terpaksa mengakui bahwa mustahil menghapus secara keseluruhan gagasan-gagasan kolektif dari sosiologi.[4]   
Menurut Udehn, Weber menggunakan metodologi individu dan Subjektif. Pada Metodologi individu, Weber tertarik pada apa yang dilakukan individu dan mengapa mereka melakukannya (motif subjektif mereka). Pada sosiologi subtantifnya, Weber lebih memusatkan perhatiannya pada struktur skala-besar seperti pada birokrasi atau kapitalisme. Ia tidak memberikan perhatiannya secara langsung yang dilakuakn individu dan mengapa individu tersebut melakukannya. Struktur tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata, tindakan individu tersebut tidak berdasarkan motifnya sendiri melainkan peraturan yang ditentukan dalam struktur tersebut. Ada sedikit kontradiksi dalam karya-karya Weber.

D.    Kritik terhadap Teori Weber
Kritik terkait dengan metode verstehen Weber.
Weber terperangkap diantara dua persoalan terkait dengan verstehen ini. Di satu sisi, verstehen tidak bisa semata-mata berarti intuisi subjektif karena jika demikian, maka verstehen tidak akan ilmiah. Di sisi lain, sosiolog tidak dapat begitu saja menyatakan makna “objektif” fenomena sosial. Weber menegaskan bahwa metode ini terletak diantara dua pilihan ini, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam metodologinya tidak selalu jelas jika kita membaca analisis Weber hanya dengan berdasarkan interpretasi-interpretasinya sendiri, namun akan menjadi sangat jelas kalau kita mencoba menerapkan metodenya itu pada penelitian kita sendiri atau, lebih dari itu ketika kita mencoba mengajarkan verstehen kepada orang lain. Jelas sekali kalau metode ini melibatkan penelitian sistemis dan ketat, namun anehnya penelitian tentang tilikan-tilikan Weber yang mencerahkan justru membuat kita makin tidak paham. Inilah yang mendorong sebagian kalangan untuk menempatkan verstehen pada suatu cara kerja penemuan yang bersifat heuristik yang mendahului kerja-kerja ilmiah sosiologi yang sesungguhnya. Sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa verstehen harus dilihat sebagai sebuah proses sosial juga dan bahwa pemahaman kita tentang orang lain selalu bermula dari sebuah dialog.

















BAB III
SIMPULAN
  1. Simpulan
            Pemikiran Weber tentang sosiologi terutama dibangun oleh serangkaian debat intelektual (methodenstreit) yang berlangsung di Jerman pada masanya. Yaitu masalah hubungan sejarah dengan ilmu pengetahuan antara kubu posithivis dengan kubu subjektivis.  Weber menolak kedua kutub ekstrim tersebut dan menangani dengan sosiologi historis. Sosiolog harus memisahkan dunia empiris dari jagat konseptual yang mereka bangun. Konsep ini tidak pernah sepenuhnya mampu memahami dunia empiris, namun dapat digunakan sebagai perangkat heuristik untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik atas realitas. Weber berusaha untuk mengkombinasikan yang spesifik dan yang umum dalam upayanya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat kehidupan sosial yang begitu kompleks.
Weber merasa bahwa sosiolog memiliki kelebihan daripada ilmuwan alam. Kelebihan tersebut terletak pada kemampuan sosiolog untuk memahami fenomena sosial, sementara ilmuwan alam tidak dapat memperoleh pemahaman serupa tentang prilaku atom atau ikatan kimia. Kontroversi konsep verstehen, dan beberapa masalah dalam menafsirkan maksud Weber, muncul dari masalah umum dalam pemikiran metodologis Weber. Ia cenderung gegabah dan tidak tepat sasaran karena merasa bahwa ia sekedar  mengulangi gagasan pada zaman terkenal dikalangan sejarawan Jerman. Terlebih lagi weber tidak terlalu memikirkan refleksi metodologis. Pemikiran Weber tentang verstehen sering ditemukan dikalangan sejarawan jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika. Verstehen adalah alat pemahaman bagi analisis level makro, karena Weber memfokuskan pandangannya pada konteks Budaya dan Sosial – kultural.
Kritik terkait dengan metode verstehen Weber. Bahwa Weber terperangkap diantara dua persoalan terkait dengan verstehen ini. Weber menegaskan bahwa metode ini terletak diantara dua pilihan ini, tapi sayangnya dia tidak pernah menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi. Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam metodologinya tidak selalu jelas jika kita membaca analisis Weber hanya dengan berdasarkan interpretasi-interpretasinya sendiri, namun akan menjadi sangat jelas kalau kita mencoba menerapkan metodenya itu pada penelitian kita sendiri atau, lebih dari itu ketika kita mencoba mengajarkan verstehen kepada orang lain. Jelas sekali kalau metode ini melibatkan penelitian sistemis dan ketat, namun anehnya penelitian tentang tilikan-tilikan Weber yang mencerahkan justru membuat kita makin tidak paham. Inilah yang mendorong sebagian kalangan untuk menempatkan verstehen pada suatu cara kerja penemuan yang bersifat heuristik yang mendahului kerja-kerja ilmiah sosiologi yang sesungguhnya. Sementara sebagian lainnya menyatakan bahwa verstehen harus dilihat sebagai sebuah proses sosial juga dan bahwa pemahaman kita tentang orang lain selalu bermula dari sebuah dialog.









Daftar Pustaka
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Siahaan. Hotman M. 1986.  Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga.



















1Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hlm: 126-131

[2]  Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan.

[3] Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Hlm: 132
[4] Sebenarnya, tipe-tipe ideal Weber adalah konsep-konsep kolektif.

0 komentar:

Posting Komentar