Senin, 02 Desember 2013

Makalah Teori Sosiologi Klasik : Max Weber 2


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sosiologi, sejak awal perkembangannya di permulaan abad kesembilan belas hingga dewasa ini, telah mengalami perubahan yang terus menerus, bermula dari ilmu Auguste Comte yaitu “Social Physics” yang kemudian dikenal dengan sosiologi, berkembang terus menerus seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat karena kita tahu bahwa objek studi sosiologi adalah masyarakat yang sifatnya dinamis dan terus berkembang. Bahkan khusus untuk sosiologi itu sendiri ada yang menyatakan bahwa ilmu ini adalah ilmu tentang krisis sosial, karena sejak pertumbuhannya
hingga perkembangannya dewasa ini sosiologi cenderung memperoleh bentuk-bentuk baru bersamaan dengan krisis sosial yang ada. Perkembangan sosiologi ini tidak lepas dari tokoh-tokoh sosiologi yang ikut menyumbang ilmu atau teorinya untuk sosiologi salah satunya adalah Max Weber yang terkenal dengan teori-teori sosiologi klasiknya yang menuai yaitu kontroversi tentang etika protestan. Untuk itu kami ingin mengetahui sejauh mana Max Weber menyumbang teori-teorinya untuk sosiologi dan mengetahui apa saja teori-teorinya seperti tentang kelas, status, kekuasaan kemudian tentang rasionalitas dan yang terakhir adalah tentang etika protestan dan kapitalisme.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana konsep Weber tentang kelas, status dan kekuasaan?
2.      Bagaimana pemikiran Weber tentang rasionalitas dan tindakan sosial?

3.      Bagaimana pemikiran Weber tentang hubungan antara etika protestan dan perkembangan kapitalisme?

C.     TUJUAN
1.      Untuk memahami konsep Weber tentang kelas, status dan kekuasaan.
2.      Untuk memahami pemikiran Weber tentang rasionalitas dan tindakan sosial.
3.      Untuk memahami pemikiran Weber tentang hubungan antara etika protestan dan perkembangan kapitalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pemikiran Weber tentang Kelas, Status dan Kekuasaan.
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Berlawanan dengan kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif” (1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan–tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat.  Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.      Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat politis.
2.      Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious.
Contoh patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
Ciri khas  dari wewenang baik patriarkhalisme maupun patrimonialisme adalah adanya system norma  yang dianggap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran atasnya akan menyebabkan adanya bencana baik yang bersifat gaib maupun yang bersifat religious. Si pemegang kekuasaan dari wewenang sedemikian ini dalam merumuskan keputusan-keputusannya adalah atas dasar pertimbangan pribadinya dan bukan atas dasar pertimbangan fungsinya. Dalam pengertian ini wewenang tradisional sedemikian ini lebih bersifat irrasional.
3.      Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.

B.     Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul dan perkembangan rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
Tipe-tipe rasionalitas:
1.      Tipe rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
2.      Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses kognitif abstrak.
3.      Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantif melibatkan sarana untuk mencapai tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.
4.      rasionalitas formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun seluruh tipe rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui sejarah, rasionalitas formal hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya industrialisasi.

Rasionalitas formal dan substantif. Rasionalitas formal dapat didefinisikan berdasarkan enam ciri utama. Pertama, struktur dan institusi rasional formal menekankan kalkulabilitas. Kedua, fokus pada efisiensi, pencarian cara terbaik untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga, perhatian besar pada terjaminnya prediktibilitas. Keempat, sistem rasional formal secara progresif mengurangi teknologi manusia dan pada akhirnya menggantikan teknologi manusia dengan teknologi nonmanusia. Kelima, sistem rasional formal berusaha melakukan kontrol atas ketidakpastian. Akhirnya, sistem rasional cenderung mengandung serangkaian konsekuensi irasional bagi orang yang terlibat didalamnya dan bagi sistem itu sendiri, maupun bagi masyarakat yang lebih luas. Rasionalitas formal beelawanan dengan semua tipe rasionalitas lain, terutama bertentangan dengan rasionalitas substantif. Weber percaya bahwa konflik antara kedua jenis rasionalitas tersebut memainkan peran penting dalam pemahaman terhadap proses rasionalisasi di Barat.
Rasionalisasi dalam berbagai setting sosial. Ketika kita bergerak dari suatu setting ke setting lainnya, seperti Weber, kadang-kadang kita memusatkan perhatian pada rasionalisasi secara umum dan pada kesempatan lain memusatkan perhatian pada tipe rasionalisasi yang khusus.

Weber memilih konsep rasionalitas sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Konsep ini sama pentingnya dengan konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx, tahap-tahap perkembangan intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Weber melihat perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Peningkatan ini tercermin dalam tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi sosial, hal ini juga juga terungkapkan dalam evolusi musik Barat. Meskipun musik sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan bahwa musik juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan kebudayaan Bbarat yang modern. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. Beberapa masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial menurut titik pandangan ini. Para ahli filsafat sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya berbeda secara mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek, dan logika (kegiatan otak) atau pada hati (seperti perasaan, sentimen, emosi) kalau menjelaskan perilaku manusia. Sejauh mana perilaku manusia itu bersifat rasional? Tak seorangpun berbuat sesuatu tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu perasaan, dan bukan suatu perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan kita heran mengapa kadang-kadang pikiran kita tidak mampu membangkitkan motivasi atau mendorong kita untuk bertindak. Kadang-kadang mungkin juga kita berpikir bahwa tindakan orang lain itu sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu menjelaskan alasan bagi tindakan itu—mesipun kriteria yang kita gunakan untuk penilaian seperti itu mungkin agak longgar. Misalnya, mungkin kelihatannya masuk akal bahwa seseorang membayar dengan sangat mahal sebuah mobil besar yang kurang cepat apabila kita mengetahui bahwa ada temannya yang mati ketika mengendarai mobil kecil yang kurang bertenaga. Tetapi apabila orang-orang lalu memberikan pembenaran-pembenaran seperti itu, kita sepertinya heran kalau pembenaran seperti itu sebenarnya merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post facto tentang tindakan, yang diberikan dengan alasan-alasan yag sangat berbeda. Pareto, misalnya, melihat kebanyakan tindakan itu bersifat nonlogis (muncul dari perasaan), dan yang lalu dirasionalisasikan menurut motif-motif yang dapat diterima secara sosial.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul sehubungan dengan rasionalitas malah menjadi lebih kompleks apabila kita melihat perannya dalam institusi-institusi sosial. Sejauh mana institusi sosial dan organisasi mencerminkan tipe rasionalitas? Salah satu sumbangan Weber yang paling masyhur terhadap sosiologi adalah analisa klasiknya mengenai birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling rasional (secara teknis bersifat efesien) dirancangkan. Dalam pengertian apa suatu birokratis itu merupakan tipe organisasi sosial yang rasional? Dalam masyarakat modern yang dikendalikan secara birokratis ini, kita sering mengalami aspek-aspek tertentu dalam birokrasi yang tidak rasional, khususnya kalau kita dipaksa untuk berinteraksi dengan nasabah atau para langganan. Apa yang membatasi rasionalitas? Apakah rasionalitas suatu organisasi sosial merupakan suatu tipe yang berbeda atau berada pada tingkat yang berbeda dari yang bersifat individual.
Kita tahu, misalnya, bahwa individu dalam posisi yang rendah dalam satu organisasi birokratis malah tidak sadar bagaimana sumbangannya yang khusus itu dihubungkan dengan yang dari ratusan orang lainnya dalam suatu sistem kegiatan yang saling tergantung dan sangat terkoordinasi secara rasional. Rasionalitas di tingkat individual dan di tingkat organisasi mungkin mencerminkan kriteria yang berbeda di mana keduanya tidak saling mengimplisit. Jawaban yang hanya “ya” atau “tidak” terhadap pertanyaan apakah tindakan manusia bersifat rasional atau tidak, adalah tidak mungkin. Tentu ada aspek rasional atau intelektual dalam kebanyakan perilaku manusia. Penggunaan teori implisit dalam menggambarkan pengalaman seseorang di masa lampau, dan dalam mengembangkan rencana untuk masa depan (seperti didiskusikan dalam Bab I) jelas merupakan suatu proses intelektual. Tetapi ada yang lebih lagi dalam perilaku manusia. Suatu aspek perasaan juga tercakup dalam tindakan, seperti nilai dan tujuan yang berada di luar kriteria perhitungan rasional. Analisa mengenai tempat rasionalitas dalam tindakan manusia menuntut kita untuk mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan rasionalitas khususnya, dan tingkatannya baik secara individual maupun institusional di mana istilah ini diterapkan. Sebelum mendiskusikan sumbangan Weber terhadap teori sosiologi, kita akan melihat sepintas kilas kehidupan Weber serta konteks intelektual dan sosial di mana dia hidup.
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial. 
Menurut Kamanto Sunarto yang dikutip dalam buku pengantar sosiologi,  tindakan sosial menurut Max Weber, “Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain”.
Max Weber membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori
1.      Zweek Rational
Yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah tindakan yang diarahkan secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana sipelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
2.      Wert Rational
Tindakan sosial jenis ini hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3.      Affectual Rational
Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh perasaan atau emosi  tanpa perhitungan dan pertimbangan yang matang.


4.      Tradisional Rational
Tindakan sosial semacam ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan proses dan tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau tradisi yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah sekedar kebiasaan.


C.     Pemikiran Weber tentang Hubungan antara Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme.
Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan untuk masuk neraka.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.
Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi keseluruhan kelompok manusia.
Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.
Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya administrasi modern.
Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis, status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi sepanjang zaman.
Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’ dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-masalah agama dan politik.





BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
·         Kelas
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja.
·         Status
Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah.
·         Kekuasaan
Kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
·         Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
   Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi skala-luas yang  dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.
·         Tipe-tipe rasionalitas:
1.      Rasionalitas praktis
2.      Rasionalitas teoritis
3.      Rasionalitas substantive
4.      Rasionalitas formal

Menurut Max Weber tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Max Weber membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori:
1.      Zwerk Rational yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu.
2.      Wert Rational yaitu tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3.      Tindakan afektif yaitu tindakan ini terjadi dibawah pengaruh keadaan emosional seseorang.
4.      Tindakan sosial yang bersifat Tradisional yaitu tindakan yang dilakukan dibawah pengaruh adat dan kebiasaan. Hal tersebut dilakukan secara sadar dan berdasarkan pada tindakan yang tradisional, bahkan tindakan tersebut mengandung nilai subjektif dan tidak dapat dipahami.



·         Pemikiran Weber tentang Hubungan antara Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme.
Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.








DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Budiarjo, Miriam., dan Maswadi, Rauf. 1983. Perkembangan ilmu Politik di Indonesia.
Ghalia, Jakarta.
Cholisin, dan Nasiwan. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ombak, Yogyakarta.
Gie, The Liang. 1986. Ilmu Politik. Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta.
http: kekuasaan-kewenangan-dan-legitimasi.html
Siahaan, Hotman M. 1986. Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta : Penerbit Erlangga





0 komentar:

Posting Komentar