BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Sosiologi, sejak awal perkembangannya di permulaan
abad kesembilan belas hingga dewasa ini, telah mengalami perubahan yang terus menerus,
bermula dari ilmu Auguste Comte yaitu “Social Physics” yang kemudian dikenal
dengan sosiologi, berkembang terus menerus seiring dengan perubahan yang
terjadi di masyarakat karena kita tahu bahwa objek studi sosiologi adalah
masyarakat yang sifatnya dinamis dan terus berkembang. Bahkan khusus untuk
sosiologi itu sendiri ada yang menyatakan bahwa ilmu ini adalah ilmu tentang
krisis sosial, karena sejak pertumbuhannya
hingga perkembangannya dewasa ini sosiologi cenderung memperoleh bentuk-bentuk baru bersamaan dengan krisis sosial yang ada. Perkembangan sosiologi ini tidak lepas dari tokoh-tokoh sosiologi yang ikut menyumbang ilmu atau teorinya untuk sosiologi salah satunya adalah Max Weber yang terkenal dengan teori-teori sosiologi klasiknya yang menuai yaitu kontroversi tentang etika protestan. Untuk itu kami ingin mengetahui sejauh mana Max Weber menyumbang teori-teorinya untuk sosiologi dan mengetahui apa saja teori-teorinya seperti tentang kelas, status, kekuasaan kemudian tentang rasionalitas dan yang terakhir adalah tentang etika protestan dan kapitalisme.
hingga perkembangannya dewasa ini sosiologi cenderung memperoleh bentuk-bentuk baru bersamaan dengan krisis sosial yang ada. Perkembangan sosiologi ini tidak lepas dari tokoh-tokoh sosiologi yang ikut menyumbang ilmu atau teorinya untuk sosiologi salah satunya adalah Max Weber yang terkenal dengan teori-teori sosiologi klasiknya yang menuai yaitu kontroversi tentang etika protestan. Untuk itu kami ingin mengetahui sejauh mana Max Weber menyumbang teori-teorinya untuk sosiologi dan mengetahui apa saja teori-teorinya seperti tentang kelas, status, kekuasaan kemudian tentang rasionalitas dan yang terakhir adalah tentang etika protestan dan kapitalisme.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
konsep Weber tentang kelas, status dan kekuasaan?
2. Bagaimana
pemikiran Weber tentang rasionalitas dan tindakan sosial?
3. Bagaimana
pemikiran Weber tentang hubungan antara etika protestan dan perkembangan
kapitalisme?
C. TUJUAN
1. Untuk
memahami konsep Weber tentang kelas, status dan kekuasaan.
2. Untuk
memahami pemikiran Weber tentang rasionalitas dan tindakan sosial.
3.
Untuk memahami pemikiran Weber tentang
hubungan antara etika protestan dan perkembangan kapitalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran
Weber tentang Kelas, Status dan Kekuasaan.
Dimulai dengan kelas, kelas dalam
pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama
dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber
melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi
tindakannya dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah
sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang
sering kali, basis tindakan kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas”
hadir ketika telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
Berlawanan dengan kelas, biasanya
status merujuk pada komunitas. “situasi status” didefinisikan Weber sebagai
“setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan oleh estimasi sosial
tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif”
(1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola
konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
ras, usia dan agama. Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status
dikaitkan dengan gaya hidup. Status terkait dengan konsumsi barang yang
dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan produksi ekonomi. Mereka yang
menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda dengan yang ada di bawah.
Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi kelas. Namun,
kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah
kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun sebenarnya mendapat tentangan atau
tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan beberapa bentuk
wewenang dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan
dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai
tujuan–tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota
masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan
yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya
dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan
dalam pengertian yang luas adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan
sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1.
Ratonal-legal
authority,
yakni bentuk wewenang yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas
legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya.
Wewenang ini dimiliki oleh organisasi – organisasi, terutama yang bersifat
politis.
2.
Traditional
authority,
yakni jenis wewenang yang berkembang
dalam kehidupan tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas
tradisi yang dianggap suci. Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe,
yakni patriarkhalisme dan patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu
jenis wewenang di mana kekuasaan didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih
tua atau senior dianggap secara tradisional memiliki kedudukan yang lebih
tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme adalah jenis wewenang
yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan kerabat – kerabatnya atau
dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi terhadapnya.
Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional
memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap
mengetahui tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada
hubungan – hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi
seseorang kepada sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis
wewenang ini adalah adanya sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat
diganggu gugat. Pelanggaran terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang
bersifat gaib maupun religious.
Contoh patriarkhalisme misalnya
wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak tertua terhadap
anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau istananya,
kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
Ciri khas dari wewenang baik patriarkhalisme maupun
patrimonialisme adalah adanya system norma
yang dianggap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran
atasnya akan menyebabkan adanya bencana baik yang bersifat gaib maupun yang
bersifat religious. Si pemegang kekuasaan dari wewenang sedemikian ini dalam
merumuskan keputusan-keputusannya adalah atas dasar pertimbangan pribadinya dan
bukan atas dasar pertimbangan fungsinya. Dalam pengertian ini wewenang
tradisional sedemikian ini lebih bersifat irrasional.
3.
Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena
kualitas yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami
sebagai kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu
sungguh – sungguh ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan
demikian, wewenang kharismatik adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik
secara predominan eksternal maupun secara predominan internal, di mana pihak
yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh karena kepercayaan pada kualitas luar
biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang kharismatik dapat dimiliki oleh
para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai, dan sebagainya.
B. Pemikiran
Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Minat Weber yang begitu luas terhadap kekhasan, asal-usul
dan perkembangan rasionalisme “kebudayaan barat yang menjadi jantung
sosiologinya ”(1994:18). Namun sulit memperoleh definisi yang jelas tentang
rasionalisasi dari karya Weber. Sebaliknya, ia membahasnya menggunakan
definisi, dan sering kali ia tidak manjelaskan definisi mana yang ttengah ia
gunakan dalam diskusi tertentu (Brubaker, 1984;1).Weber mendefinisikan rasionalitas,
ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan
rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan.
Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi
skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada orientasi
tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan
pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan
kelompok.
Tipe-tipe
rasionalitas:
1. Tipe rasionalitas praktis, yang
didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan hidup yang memandang dan
menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan kepentingan
indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas
ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat
dalam setiap peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada
barat (oksiden) modern.
2. Rasionalitas teoritis melibatkan
upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui konsep-konsep yang makin
abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini melibatkan proses
kognitif abstrak.
3. Rasionalitas substantif (seperti
rasionalitas praktis, namun tidak seperti rasionalitas teoritis) secara
langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola melalui
kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantif melibatkan sarana untuk mencapai
tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak
lebih rasional daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga
bersifat lintas peradaban dan lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang
konsisten.
4. rasionalitas
formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun seluruh tipe
rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui sejarah,
rasionalitas formal hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya
industrialisasi.
Rasionalitas
formal dan substantif. Rasionalitas formal dapat didefinisikan berdasarkan enam
ciri utama. Pertama, struktur dan institusi rasional formal menekankan
kalkulabilitas. Kedua, fokus pada efisiensi, pencarian cara terbaik untuk
mencapai tujuan tertentu. Ketiga, perhatian besar pada terjaminnya
prediktibilitas. Keempat, sistem rasional formal secara progresif mengurangi
teknologi manusia dan pada akhirnya menggantikan teknologi manusia dengan
teknologi nonmanusia. Kelima, sistem rasional formal berusaha melakukan kontrol
atas ketidakpastian. Akhirnya, sistem rasional cenderung mengandung serangkaian
konsekuensi irasional bagi orang yang terlibat didalamnya dan bagi sistem itu
sendiri, maupun bagi masyarakat yang lebih luas. Rasionalitas formal beelawanan
dengan semua tipe rasionalitas lain, terutama bertentangan dengan rasionalitas
substantif. Weber percaya bahwa konflik antara kedua jenis rasionalitas tersebut
memainkan peran penting dalam pemahaman terhadap proses rasionalisasi di Barat.
Rasionalisasi
dalam berbagai setting sosial. Ketika kita bergerak dari suatu setting ke
setting lainnya, seperti Weber, kadang-kadang kita memusatkan perhatian pada
rasionalisasi secara umum dan pada kesempatan lain memusatkan perhatian pada
tipe rasionalisasi yang khusus.
Weber memilih konsep rasionalitas
sebagai titik pusat perhatiannya yang utama. Konsep ini sama pentingnya dengan
konsep solidaritas untuk Durkheim, konflik kelas Marx, tahap-tahap perkembangan
intelektual bagi Comte, dan mentalitas budaya untuk Sorokin. Weber melihat
perkembangan masyarakat barat yang modern sebagai suatu hal yang menyangkut
peningkatan yang mantap dalam bentuk rasionalitas. Peningkatan ini tercermin
dalam tindakan ekonomi individu setiap hari dan dalam bentuk-bentuk organisasi
sosial, hal ini juga juga terungkapkan dalam evolusi musik Barat. Meskipun
musik sering dilihat sebagai bahasa emosi, Weber memperlihatkan bahwa musik
juga tunduk pada kecenderungan rasionalisasi yang merembes pada perkembangan
kebudayaan Bbarat yang modern. Karena kriteria rasionalitas merupakan suatu
kerangka acuan, maka masalah keunikan orientasi subyektif individu serta
motivasinya sebagiannya dapat diatasi. Juga menurut perspektif ilmiah, kriteria
rasionalitas merupakan suatu dasar yang logis dan obyektif untuk mendirikan
suatu ilmu pengetahuan mengenai tindakan sosial serta institusi sosial, dan
sementara itu membantu menegakkan hubungannya dengan arti subyektif. Beberapa
masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial menurut titik
pandangan ini. Para ahli filsafat sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya
berbeda secara mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek, dan
logika (kegiatan otak) atau pada hati (seperti perasaan, sentimen, emosi) kalau
menjelaskan perilaku manusia. Sejauh mana perilaku manusia itu bersifat
rasional? Tak seorangpun berbuat sesuatu tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin
hanya sekedar keinginan untuk menyatakan suatu perasaan, dan bukan suatu
perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan kita heran mengapa kadang-kadang
pikiran kita tidak mampu membangkitkan motivasi atau mendorong kita untuk
bertindak. Kadang-kadang mungkin juga kita berpikir bahwa tindakan orang lain
itu sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang itu
menjelaskan alasan bagi tindakan itu—mesipun kriteria yang kita gunakan untuk
penilaian seperti itu mungkin agak longgar. Misalnya, mungkin kelihatannya
masuk akal bahwa seseorang membayar dengan sangat mahal sebuah mobil besar yang
kurang cepat apabila kita mengetahui bahwa ada temannya yang mati ketika
mengendarai mobil kecil yang kurang bertenaga. Tetapi apabila orang-orang lalu
memberikan pembenaran-pembenaran seperti itu, kita sepertinya heran kalau
pembenaran seperti itu sebenarnya merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post
facto tentang tindakan, yang diberikan dengan alasan-alasan yag sangat berbeda.
Pareto, misalnya, melihat kebanyakan tindakan itu bersifat nonlogis (muncul
dari perasaan), dan yang lalu dirasionalisasikan menurut motif-motif yang dapat
diterima secara sosial.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul
sehubungan dengan rasionalitas malah menjadi lebih kompleks apabila kita
melihat perannya dalam institusi-institusi sosial. Sejauh mana institusi sosial
dan organisasi mencerminkan tipe rasionalitas? Salah satu sumbangan Weber yang
paling masyhur terhadap sosiologi adalah analisa klasiknya mengenai birokrasi
modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling rasional (secara
teknis bersifat efesien) dirancangkan. Dalam pengertian apa suatu birokratis
itu merupakan tipe organisasi sosial yang rasional? Dalam masyarakat modern
yang dikendalikan secara birokratis ini, kita sering mengalami aspek-aspek
tertentu dalam birokrasi yang tidak rasional, khususnya kalau kita dipaksa
untuk berinteraksi dengan nasabah atau para langganan. Apa yang membatasi
rasionalitas? Apakah rasionalitas suatu organisasi sosial merupakan suatu tipe
yang berbeda atau berada pada tingkat yang berbeda dari yang bersifat
individual.
Kita tahu, misalnya, bahwa individu dalam posisi
yang rendah dalam satu organisasi birokratis malah tidak sadar bagaimana
sumbangannya yang khusus itu dihubungkan dengan yang dari ratusan orang lainnya
dalam suatu sistem kegiatan yang saling tergantung dan sangat terkoordinasi
secara rasional. Rasionalitas di tingkat individual dan di tingkat organisasi
mungkin mencerminkan kriteria yang berbeda di mana keduanya tidak saling
mengimplisit. Jawaban yang hanya “ya” atau “tidak” terhadap pertanyaan apakah
tindakan manusia bersifat rasional atau tidak, adalah tidak mungkin. Tentu ada
aspek rasional atau intelektual dalam kebanyakan perilaku manusia. Penggunaan
teori implisit dalam menggambarkan pengalaman seseorang di masa lampau, dan
dalam mengembangkan rencana untuk masa depan (seperti didiskusikan dalam Bab I)
jelas merupakan suatu proses intelektual. Tetapi ada yang lebih lagi dalam
perilaku manusia. Suatu aspek perasaan juga tercakup dalam tindakan, seperti
nilai dan tujuan yang berada di luar kriteria perhitungan rasional. Analisa
mengenai tempat rasionalitas dalam tindakan manusia menuntut kita untuk
mendefinisikan apa yang dimaksudkan dengan rasionalitas khususnya, dan
tingkatannya baik secara individual maupun institusional di mana istilah ini
diterapkan. Sebelum mendiskusikan sumbangan Weber terhadap teori sosiologi,
kita akan melihat sepintas kilas kehidupan Weber serta konteks intelektual dan
sosial di mana dia hidup.
Berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial.
Menurut
Kamanto Sunarto yang dikutip dalam buku pengantar
sosiologi, tindakan sosial menurut Max Weber, “Tindakan sosial
adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam
masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah
tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan
berorientasi pada perilaku orang lain”.
Max Weber
membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori
1.
Zweek Rational
Yaitu
tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan
cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas
instrumental adalah tindakan yang diarahkan secara rational untuk
mencapai suatu tujuan tertentu dan diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu
pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana sipelaku bebas memilih
cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
2.
Wert Rational
Tindakan
sosial jenis ini hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial
rasional instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial
ditentukan oleh pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai
estetis, etis dan keagamaan, manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan
efisiensi mereka karena tujuannya pasti yaitu keunggulan.
3.
Affectual Rational
Tindakan
ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya
timbul secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar
dikuasai oleh perasaan atau emosi tanpa perhitungan dan pertimbangan
yang matang.
4.
Tradisional Rational
Tindakan
sosial semacam ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan
proses dan tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah
kondisi atau tradisi yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan
tujuan-tujuannya adalah sekedar kebiasaan.
C. Pemikiran
Weber tentang Hubungan antara Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme.
Diawali
oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama
adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia
mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara
stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya
barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur
berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya
terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar
dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu
saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap
upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang
pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi
pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah
meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal
ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang
sangat penting dari budaya yang ada di barat.
Max Weber dengan baik mengaitkan
antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under
Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama
tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana
kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta
sosial terutama dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan
ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Karya
Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism menunjukkan
dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat kapitalisme. Etika
protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang yang bernama Calvin,
saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada intinya sudah ditakdirkan
untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui apakah ia masuk surga atau
neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di dunia. Jika seseorang
berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat dipastikan bahwa ia
ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya kalau di dunia ini
selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang itu ditakdirkan
untuk masuk neraka.
Doktrin
Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi
serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas Protestan, etos itu
berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan
dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di
akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di
kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan
dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya.
Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi ancaman bagi
kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan
yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang
tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan”
pula bagi individu itu masuk neraka.
Upaya
untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan” harta benda
yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan dunia, tetapi
juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh
Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas
imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama
bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke
Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
Weber
mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat
mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti
itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya pengejaran bagi
kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan
kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh Kar Marx. Islam pun sebenarnya
berbicara tentang kaitan antara makna-makna doktrin dengan orientasi hidup yang
bersifat rasional. Dalam salah satu ayat disebutkan bahwa setelah menyelesaikan
ibadah shalat, diperintahkan untuk bertebaran di muka bumi ini dalam rangka
mencari karunia Allah SWT. Namun dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang
digunakan untuk membatasi kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat,
infaq dan shadaqah.
Menurut
Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi
dengan baik memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang
lainnya merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri,
ketika Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar
nyata dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan
dari individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim
bagi keseluruhan kelompok manusia.
Selain membicarakan
tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme, Weber juga membicarakan
tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan Taoisme, perhatian Weber pada
agama ini tampaknya menunjukkan besarnya perhatian Weber atas
kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan-tulisannya
yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-masalah Islam. Hadirnya
tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya Weber ini dapat dipandang
sebagai perbandingan antara makna agama di Barat dan di Timur. Ia banyak
menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja dengan analisa yang rasional
dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskriminasikan agama
tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan Taonisme merupakan karya terbesar
kedua dari Weber dalam sosiologi tentang agama.
Weber memusatkan
perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat Tiongkok yang mempunyai perbedaan
jauh dengan budaya yang ada di bagian barat bumi (Eropa) yang dikontraskan
dengan Puritanisme. Weber berusaha mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak
berkembang di Tiongkok?” dalam rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan
sederhana diatas, Webar melakukan studi pustaka atas eksistensi masyarakat
tiongkok. Bagaiman eksistensi itu dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa
yang menjadi kegelisahan empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami
sejarah kehidupannya,
Dalam berbagai
dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat Tiongkok memiliki akar yang
kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka sejak tahun 200 SM, Tiongkok pada
saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang membentuk
benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat perdagangan,
namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik, ditambah warganya
yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan oleh kekuatan
jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan keagamaan terhadap
roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing merebutkan
perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak pernah menjadi
suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara beragamakan
Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak kapitalis dimana-mana
mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta sosial saat ini.
Pada bagian awal
buku ini weber menuliskan tentang politik dan kekuasaan, ada berbagai hal yang
menarik untuk diulas bagi banyak teoritik sosial. Tentang Negara Weber
mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam
penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini menjadi sangat berharga
karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik barat modern. Pada bagian
satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga justifikasi batiniah yang menjadi
legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar bagi dominasi ini yang pertama
ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering disebut sebagai dominasi
tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat yang dikeramatkan.
Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial dimasa lalu,
salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas dasar darah
keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas kharismatik
diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada wahyu,
heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan
individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama
perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai sebuah
kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini didasari
oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul karena
keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang beralas
pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih secara
demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku seperti
halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.
Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber
mengenai perkembangan rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum
diawali pewahyuan ala kharismatik, tahapan ini
merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum sama sekali. Tahapan ini
ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang kedua menurut Weber
adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan hukum empiris ini tercipta
melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas manusia itu sendiri, tahapan
kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat empirical. Selanjutnya adalah
tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh kekuatan-kekuatan sekuler, dan
yang terakhir merupakan tahapan profesional, artinya hukum yang dibuat oleh
orang-orang yang benar-benar mempunyai kemampuan didalamnya karna mereka
mendapatkan pendidikian formal dengan metode ilmiah dan logis formal.
Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu akan berkembang dari kharismatik
tradisional menuju tahapan-tahapan yang sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita
melihat berbagai perkembangan hukum, proses itu tak berjalan linier menaiki
tangga secara berurutan, justru perubahannya bisa saja terjadi secara gradual
atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi masyarakat yang mengalami
revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih menemukan fakta banyaknya
masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam menyesuaikan hukum yang
mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan negara, ini mengakibatkan
kementalan antara kualitas hukum dan kualitas masyarakat, alasannya adanya
masyarakat yang tak bisa mencerna hukum sehingga terjadi pemboikotan secara
tidak langsung.
Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan
dengan perkembangan hukum manusia saat ini, contoh beberapa negara yang
menggunakan syariat Islam, tentu saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah
atas teorinya Weber. Apa yang disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada
wahyu dari teks-teks suatu kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang
dijadikan hukum manusia saat ini. Tentu tidak serta merta dapat dikatakan
ketinggalan, karna berada pada tahap satu dari perkembangan manusia yang
diungkapkan Weber sebelunya, justru kharismatik tradisional mapu melampaui
hukum manusia profesiaonal sekalipun.
Buku ini bisa di
ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah, beberapa tandan dari buku
yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang agama, kekuasaan, ilmu
pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam buku ini merupakan esai
tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali pembahasan diantaranya mengenai
struktur kekuasaan, mengenai kelas social, status dan partai, juga birokrasi.
Weber selain
dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri administrasi
Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang ekonomi dan
pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan banyak hal termasuk
didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada beberapa karakteristik
sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang berfungsi secara
spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang sudah ditetapkan
dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat
kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis juga
adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang tak kalah
pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu merupakan sebuah
panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat birokrasi sebagai contoh
klasik rasionalisasi.
Cukup banyak
yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber
mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat
menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang
merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya
administrasi modern.
Buku ini
merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka teoritik Weber. Ia
tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia
menjadi salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya
ketika Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah
satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan
itu sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi
kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana
stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis,
status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang
proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.
Isi buku yang
diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot nutrisi kaya teori, namun
tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti permasalahannya menjadi kendala
utama dalam menguasai teori dalam buku ini. Masalah seperti ini memang sering
kita temui ketika membaca karya-kaya terjemahan asing. Banyak para tokoh yang
menjelaskan teori weber ini dalam bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah
untuk dipahami, Weber merupakan penulis yang paling buruk dibandingkan dengan
tokoh sosiologi lain dalam menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan
begitu kesulitan menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang
sudah dianalisa oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai
ide yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam
buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max
Weber ini dapat diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.
Buku ini seperti
sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran dari teorinya yang tak
pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber
seakan tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak
teoritis baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi
sepanjang zaman.
Menurut hemat
penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen, Mahasiswa, pemerhati
masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja yang memiliki
perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’ dibaca oleh
ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada
masalah-masalah agama dan politik.
BAB
III
PENUTUP
A. SIMPULAN
·
Kelas
Kelas
dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang
sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber
melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada
penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja.
·
Status
Status
oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian
status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama. Sudah
jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status
terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait
dengan produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup
berbeda dengan yang ada di bawah.
·
Kekuasaan
Kekuasaan
dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan
sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas
adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai
dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
·
Pemikiran
Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.
Weber mendefinisikan rasionalitas, ia
membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas sarana-tujuan dan rasionalitas
nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe tindakan. Itu semua
adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang rasionalisasi
skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber
tidak terlalu tertarik pada orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian
pokoknya adalah keteraturan dan pola-pola tindakan dalam peradaban, instistusi,
organisasai, strata, kelas dan kelompok.
·
Tipe-tipe
rasionalitas:
1.
Rasionalitas
praktis
2.
Rasionalitas
teoritis
3.
Rasionalitas
substantive
4.
Rasionalitas formal
Menurut Max Weber tindakan sosial
adalah tindakan manusia yang dapat
mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai
maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.
Max Weber membedakan tindakan
sosial kedalam 4 kategori:
1.
Zwerk
Rational yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang
mengenai tujuan dan cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu.
2.
Wert Rational
yaitu tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh pertimbangan atas dasar
keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan, manakala
cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti
yaitu keunggulan.
3.
Tindakan afektif yaitu tindakan ini terjadi dibawah pengaruh keadaan
emosional seseorang.
4.
Tindakan
sosial yang bersifat Tradisional yaitu tindakan
yang dilakukan dibawah pengaruh adat dan kebiasaan. Hal tersebut dilakukan
secara sadar dan berdasarkan pada tindakan yang tradisional, bahkan tindakan tersebut
mengandung nilai subjektif dan tidak dapat dipahami.
·
Pemikiran
Weber tentang Hubungan antara Etika Protestan dan Perkembangan Kapitalisme.
Max Weber dengan baik mengaitkan
antara Etika Protestan dan Semangat Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest
Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika protestan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras dengan anggapan bahwa agama tidak dapat
menggerakkan semangat kapitalisme. Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara
doktrin-doktrin agama yang bersifat puritan dengan fakta-fakta sosial terutama
dalam perkembangan industri modern telah melahirkan corak dan ragam nilai,
dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi perilaku individu.
Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan “mengumpulkan”
harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya menjamin kebahagiaan
dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi kecemasan. Etika Protestan
dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes, bersemangat, sungguh-sungguh, dan
rela melepas imbalan materialnya. Dalam perkembangannya etika Protestan menjadi
faktor utama bagi munculnya kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini
menebar ke Amerika Serikat dan berpengaruh sangat kuat disana.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Budiarjo, Miriam., dan Maswadi, Rauf. 1983. Perkembangan ilmu Politik di Indonesia.
Ghalia, Jakarta.
Cholisin, dan Nasiwan. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Ombak, Yogyakarta.
Gie, The Liang. 1986. Ilmu Politik. Yayasan Studi Ilmu dan
Teknologi, Yogyakarta.
http:
kekuasaan-kewenangan-dan-legitimasi.html
Siahaan,
Hotman M. 1986. Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta
: Penerbit Erlangga
0 komentar:
Posting Komentar